Fotografer Yang Mengungkap Aksi Balas Dendam Belanda di Jawa 1949
Koran NRC, 4 April 2015
Oleh Marjolein van Pagee dan Gijsbert van Es
Pada tanggal 24 Juli 1949, Marinir Belanda melakukan aksi pembalasan dengan menembaki 60 penduduk sipil dan membakar lebih kurang 50 rumah. Kejadian ini tersimpan dalam catatan seorang sekretaris desa dan kesaksian para penduduk yang ditelusuri oleh seorang fotografer, Marjolein van Pagee.
Sejauh ini belum ada catatan resmi tentang detil kejadian pada pelajaran perang kemerdekaan Indonesia Belanda ditahun –tahun tersebut. Sehari sebelumnya pada tanggal 23 Juli 1949 terjadi insiden tewasnya 4 anggota marinir Belanda dan seorang mata-mata cina.
Data Korban
Sebuah patroli marinir dipimpin oleh Leen Teeken berangkat tanpa persiapan yang cukup dan hanya membawa persenjataan ringan dengan jumlah 10 orang marinir Belanda dan seorang mata-mata cina. Di kawasan desa Prambon Wetan, Jawa Timur, mereka disergap oleh pejuang-pejuangn Indonesia. 6 marinir Belanda ditawan selama 2 bulan.
Ketika Marjolein van Pagee mengunjungi desa Prambon Wetan, dia mendapatkan catatan dari sekretaris desa. Itu adalah sebuah catatan detil tentang pertempuran didesa itu. Dituliskan dalam catatan nama-nama korban dipihak Indonesia berikut peta sederhana lokasi kejadian. Tidak diketahui dengan jelas atas perintah siapa aksi balas dendam tersebut , juga tidak diketahui siapa komandan lapangannya.
( bersambung ke halaman 11 )
Halaman 11 |
Apakah ini aksi Balas dendam Belanda ?
Hindia Belanda
Pada Juli 1949 satu regu patroli Belanda berjalan menuju titik penyergapan yang disiapkan Indonesia. Satu hari kemudian desa itu dibakar. Apa yang sebenarnya terjadi di Prambon Wetan ?
Tiga orang Belanda dan tiga orang Indonesia. Lembaran sejarah kelam mengikat jiwa mereka berenam, catatan dari kematian lebih dari 70 orang. Tiga orang Indonesia yang hidup di Jawa Timur tidak mengenal tiga orang Belanda yang lain. Mengenai kisah masa lalu mereka pada perang tersebut, belum seluruhnya terungkap dengan sempurna.
Hanya sisi patriotik Belanda saja yang tertulis dipihak kita. Terutama dikalangan veteran marinir, kisah patroli Teeken sangat melegenda. Pada 22 Juli, Leen Teeken mengambil alih komando pos Rengel, Jawa Timur. Sehari kemudian mendadak dia memberangkatkan sebuah patroli dikawasan yang cukup “bermasalah” ini untuk menunjukkan “siapa yang berkuasa”, mencari para pejuang gerilya dan TNI yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Sebelum kejadian ini, pasukan darat / Land Army membombardir Prambon Wetan dengan mortir yang menewaskan beberapa orang penduduk sipil. Dibulan Juni sebulan sebelumnya, kepala desa Prambon Wetan terbunuh ketika menyerang patroli Belanda ketika ia berupaya menyerang dengan lemparan granat tangan.
Pada akhir Juli 1949, veteran marinir Ben Ruerling adalah anak buah Teeken. Lebih dari 65 tahun kemudian, dia menyebut bahwa insiden itu adalah kesalahan besar dari Teeken yang berangkat hanya dengan 10 marinir bersenjata ringan ditemani seorang mata-mata cina. Ruerling ingat kesunyian dan suasana begitu tenang didesa itu sesaat sebelum patroli mereka mendadak dihujani peluru TNI. Dalam pertempuran sengit, Teeken dan tiga anggota marinir lainnya terbunuh. Mata-mata cina yang juga terbunuh akibat tembakan, mayatnya dicincang dengan senjata tajam oleh penduduk desa.
“Saya menyalahkan Teeken atas insiden ini, adalah kesalahan dia orang-orang itu harus terbunuh” kata Ben Ruerling yang juga tertembak di dada dan lengannya. Dia menjadi tawanan bersama 6 marinir lainnya. Seorang tawanan marinir Belanda lainnya meninggal selama ditawan karena terkena malaria. Dua bulan kemudian mereka semua dibebaskan. Keluarga Ruerling di Belanda telah dikabari bahwa dia telah terbunuh, berita dukacita tentang kematiannya juga sudah dimuat di surat kabar, namun ternyata dia masih hidup.
Ruerling dan veteran Belanda lainnya, juga saksi mata dipihak Indonesia menceritakan kisahnya pada Marjolein van Pagee seorang fotografer Belanda. Dia memotret mereka semua dan siaran radio langsung mengenai kisah ini akan disiarkan hari Minggu malam. Sejak 2010 Van Pagee melakukan penelitian perang kemerdekaan antara Indonesia-Belanda. Dia merasa kisah perang 1945-1949 yang beredar di Belanda hanya satu sisi, dari pihak Belanda saja, “kisah-kisah para penduduk lokal Indonesia harus di integrasikan dengan penulisan pihak Belanda” ucapnya.
Disisi Belanda, Marjolein van Pagee juga mewawancarai Dies Bom ( 87 ) seorang mantan sopir ambulans. Beberapa hari setelah insiden itu, dia diperintahkan mengevakuasi jenazah para marinir yang terbunuh, jasad mereka dibuang kesungai. “baunya sangat tidak tertahankan” katanya, saat itu dia mengevakuasi tanpa sarung tangan atau alat pelindung lainnya.
Monumen
Sebuah Monumen didirikan untuk mengenang perjuangan semasa 1949 didesa Prambon Wetan, Jawa Timur. Jika kita bertanya pada penduduk sekitar tentang kisah dibalik berdirinya monumen maka tiga nama akan segera diberikan.
Soecipto (78) menceritakan bagaimana dalam usia 12 tahun sudah diajari TNI untuk menggunakan senjata api. “Kami semua menembak hampir bersamaan agar Belanda mengira kami mempunyai senapan mesin” ujarnya mengenai pertempuran tanggal 23 Juli 1949.
Kusnan ( 80 ) bercerita sangat cocok dengan catatan Belanda , “kami tahu mereka datang patroli satu regu, beberapa kami bunuh, beberapa kami tangkap hidup-hidup”.
Lilik (72) , anak dari kepala desa yang terbunuh saat menyerang patroli Belanda dibulan Juni, sebulan sebelumnya. “Saat itu saya sembunyi dibawah tempat tidur ketika mendengar sebuah ledakan besar, ternyata itu adalah ledakan granat yang menewaskan ayah saya” . Lalu dia menaruh sebuah buku catatan diatas meja, berisi 15 halaman berisi kekerasan bersenjata antara desember 1948 hingga juli 1949.
Bagian terkelam adalah catatan tertanggal 24 Juli 1949, sehari setelah disergapnya patroli Teeken ketika mereka menembaki penduduk sipil dan membakari rumah. 64 penduduk tewas dan 56 rumah dibakar habis. Catatan itu menulis dengan detil nama-nama korban.
6 orang dengan kisah yang saling mengikatkan |
Catatan Sekretaris Desa berisi nama-nama korban |
Aksi Balas Dendam
Fotografer Marjolein van Pagee menunjukkan list para penduduk yang terbunuh dalam aksi balas dendam tersebut pada veteran Belanda yang berada di lokasi kejadian ditahun 1949. Letnan Carel van Lookeren Campagne (89) adalah salah satunya. Dia sampai beberapa hari kemudian setelah insiden pertempuran untuk mencari anggota patroli Teeken yang hilang.
Apakah van Lookeren pernah mendengar aksi balas dendam ini? “Tidak” katanya. Namun dia menjelaskan bahwa suasana emosional para prajurit sangat terasa, mereka sangat ingin ada aksi kekerasan. Dia mengatakan “sangat sulit mengatur emosi mereka hingga berkali-kali saya teriakkan kata God Dammit pada mereka “ . Ruerling, marinir yang tertawan dalam insiden tersebut mengatakan “jika aksi balas dendam itu benar, maka saya sungguh merasa malu”
ditulis ulang dalam bahasa Indonesia oleh
Ady Setyawan.