Sejarah
Tidak banyak orang tahu tentang keberadaan sebuah benteng bersejarah disisi timur Jembatan Suramadu. Berdiri megah nyaris terkubur rerimbunan semak dan pohon. Kisah tentang benteng ini ditulis dalam buku Autobiografi Letkol TNI ( purn ) dr Wiliater Hutagalung. Dituliskan bahwa Kolonel Wiliater Hutagalung mengumpulkan pasukan Heiho yang telah kalah perang di front timur Indonesia untuk mengoperasikan meriam-meriam pantai di Benteng Kedungcowek. Sebagian besar dari mereka berasal dari Sumatera menjadi salah satu faktor kenapa Wiliater Hutagalung yang dipilih untuk melakukan pendekatan.
Kelompok Heiho ini kemudian memilih tinggal di Surabaya, menempati pos mereka di Benteng Kedungcowek. Sebuah keputusan yang luar biasa mengingat mereka telah mengalami kengerian perang di front Indonesia Timur melawan pasukan Sekutu. Untuk sedikit memberi gambaran yang mereka alami sebelum pecahnya pertempuran Surabaya, mari kita simak beberapa catatan kesaksian mereka dari Buku Kumpulan Kenang-kenangan Heiho Indonesia 1942-1945:
“…29 Oktober (1943) 30 pesawat Amerika membomi lapangan terbang….kami terpaksa makan dedaunan dan buah-buahan liar, dua kawan kami mati kelaparan. Kami mulai melakukan penyabotan,ketika diketahui pihak Jepang, mereka menembak mati sembilan rekan kami”
” Kawan-kawan kami dari Heiho dan Heitai jatuh bergelimpangan disana-sini dan banyak yang tidak utuh. Ada yang tanpa kepala,ada yang hilang sebatas pinggang,ada yang hancur sama sekali. Ada yang utuh tapi muntah darah. Ada juga potongan tangan dan kaki menggantung diatas pohon-pohon. Mengerikan sekali”
“Seorang Heiho dari Formosa menawari saya daging kuda,tapi saya curiga karena tak ada kuda disekitar kami tinggal. Ternyata itu daging manusia yang diambil ketika sudah menjadi mayat”
Yang perlu mendapatkan perhatian disini adalah bagaimana pasukan Heiho ini memilih tetap tinggal dan sekali lagi menghadapi serbuan Sekutu. Bedanya kali ini mereka berdiri sebagai satuan yang membela bangsanya. Tidak ada lagi pasukan Heiho, mereka telah bertransformasi menjadi satuan yang bernama “Batalion Sriwidjaja”, dinamakan demikian untuk mengenang tanah leluhur yang mereka cintai dan tinggalkan : Sumatera.
Pertempuran Surabaya pun pecah, sepak terjang para artileris meriam inipun terekam dalam koran-koran luar negeri. Salah satunya adalah koran The Daily Examiner tertanggal 15 November 1945 yang menempatkan aksi mereka di halaman paling depan “Stiffer Resistance in Sourabaya…Indonesians using Japanese 75mm and five rounds fell in the area occupied by Gurkha’s today”.
Akhir dari perang tentu dapat ditebak. Sepertiga dari pasukan Sriwidjaja gugur di benteng Kedungcowek dalam kondisi sangat mengenaskan. Pasukan yang selamat mundur tanpa sempat mengevakuasi jenazah rekan-rekannya akibat gencarnya tembakan artileri kapal-kapal perang Inggris.
Upaya Melacak Jejak Sejarah
Sejak tahun 2010, komunitas Roodebrug Soerabaia mulai mengumpulkan data tentang perjuangan di Benteng Kedungcowek. Aksi pembersihan benteng yang tertutup tanaman liar pun mulai dilakukan bersama jajaran TNI AD. Disusul pada tahun 2014, Ady Setyawan berangkat menuju Belanda untuk mencari arsip cetak biru Benteng Kedungcowek. Pada tahun 2015, seluruh perjalanan penggalian data dibukukan dimana cetak biru turut dilampirkan didalamnya. Perlu dicatat disini bahwa upaya pencarian cetak biru ke Belanda dilakukan atas dana pribadi, tidak ada sponsor dari perusahaan atau yayasan manapun.
Buku ini mendapat respon cukup positif. Sejak terbitnya buku ini ditahun 2015, Jawa Pos kerap menampilkan sebagai berita dan pernah pula masuk liputan khusus “Cover Story Metropolis” sebanyak setengah halaman penuh pada 13 Desember 2015.
Pada bulan yang sama, 3 Desember 2015. Tim penyusun buku “Benteng Benteng Surabaya” diundang Dinas Budaya dan Pariwisata untuk melakukan presentasi dihadapan Tim Ahli Cagar Budaya. Bukti-bukti dipaparkan mulai temuan cetak biru yang membuktikan siapa yang mendesain arsitektur benteng, tahun ditandatanganinya cetak biru hingga literatur-literatur yang menyebutkan tentang pertempuran di Benteng Kedungcowek. Juga paparan pemanfaatan benteng-benteng serupa di luar negeri sebagai destinasi wisata, dalam hal ini Singapura
Reaksi Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Tim Ahli Cagar Budaya
Berdasarkan UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada pasal 5 disebutkan bahwa Benda, bangunan atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya , Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria :
- Berusia 50 tahun atau lebih
- Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun
- Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama atau kebudayaan
- Memiliki nilai budaya bagi penguatan pribadi bangsa
Kami merasa bahwa benteng tersebut telah memenuhi semua syarat sesuai UU tersebut. Namun tidak kunjung turun berita positif untuk menangani secara serius keberadaan benteng. Tercatat dalam dokumentasi kami, pernah sekali tim Dinas Kebudayaan dan Pariwisata turut hadir dalam acara kerjabakti pembersihan benteng. Tak kalah penting dalam UU Cagar Budaya ini adalah pasal 26 ayat 1 : Pemerintah BERKEWAJIBAN melakukan pencarian benda, bangunan, struktur dan lokasi yang diduga sebagai cagar budaya.
Berita awal yang cukup mengejutkan datang pada 17 April 2018. Dimana Tim Ahli Cagar Budaya bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memberi pernyataan di media bahwa Benteng Kedungcowek mungkin adalah bunker-bunker peninggalan Jepang.
Disini kami mulai mempertanyakan kinerja Tim Ahli Cagar Budaya dan Disbudpar dalam bekerja. Apa dasar penentuan bahwa deretan bangunan itu adalah buatan Jepang? Bagaimana dasar para tim ahli ini mendefiniskan bunker dengan benteng? Lantas diapakan data-data sumber literatur sejaman yang telah kami berikan dan paparkan sebelumnya?
Wajarkah jika kami berpikir bahwa Tim Ahli Cagar Budaya dan Disbudpar tidak serius dalam pekerjaan mereka ?
Perlu kita jadikan renungan,hanya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir , berapa banyak kota Surabaya kehilangan situs bersejarahnya? Akankah menyusul juga Benteng Kedungcowek?
Kota Pahlawan, Siapa Harus Menjaga ?
Surabaya akan selalu identik dengan heroisme, sejarah memang mencatat demikian. Mulai keberhasilan Raden Wijaya mengusir pasukan Tartar yang dijadikan patokan hari jadinya kota, pertempuran melawan invasi Mataram hingga Pertempuran Surabaya yang tercatat sebagai perang terbesar dalam periode perang revolusi mempertahankan kemerdekaan 1945-1949.
Surabaya adalah kota petarung dengan karakter penduduknya yang egaliter, serba blak-blakan. Mari kita jujur pada diri sendiri, ruh Surabaya sebagai kota pahlawan, apakah semakin menguat ataukah semakin memudar? Jika kita merasa makin memudar, lantas kita bisa apa?
Pada hari Kamis, 23 Mei 2019. Dua media besar yaitu koran Surya dan Tribun berturut-turut menurunkan dua judul : “Benteng-Bunker Milik Swasta, Pemkot Surabaya Gagal Ubah Jadi Destinasi Wisata” dan “Pemkot Surabaya Kubur Impian Jadikan Bunker di Kaki Suramadu Destinasi Wisata, Jatuh ke Pihak Swasta”.
Terlepas dari benar atau tidaknya berita yang dimuat kedua media tersebut, ini sudah waktunya kita semua bergerak menyelamatkan situs Benteng Kedungcowek. Tulisan ini tidak semata-mata ditujukan untuk Disbudpar Pemkot Surabaya, tetapi untuk kita semua yang masih mempunya kepedulian.
Jika cetak biru itu masih tidak cukup dianggap sebagai bukti, jika literatur dipinggirkan , maka bagaimana kita menjelaskan ratusan lubang peluru beserta proyektil-proyektil tertancap yang menghiasi dinding-dinding benteng Kedungcowek?
Mereka yang telah gugur di benteng itu telah memberikan yang terbaik yang mereka punya untuk kedaulatan negeri ini. Tanpa wajah, tanpa nama, tanpa penanda untuk dikenang. Kini giliran kita, seberapa dalam kepedulian yang kita punya?
Akankah kita acuh dan membiarkan generasi penerus nanti mendapati ruang-ruang kosong ditiap sudut kota atau mungkin yang telah berganti dengan pusat perbelanjaan dengan kenangan “dahulu disini pernah berdiri….”?
Mengembalikan ruh Surabaya sebagai kota pahlawan adalah tantangan kita semua, sebuah refleksi diri pada ulang tahun Surabaya ke 726 ini.
Catatan tambahan :
Roodebrug Soerabaia akan mengadakan diskusi berjudul “Benteng Kedungcowek, Sebuah Fragmentasi Berkelanjutan” pada tanggal 9 Juni 2019 jam 09.00 WIB di Hotel Majapahit Surabaya. Silahkan hadir.
Ditulis oleh :
Ady Setyawan
Pendiri Komunitas Roodebrug Soerabaia
Penulis buku “Benteng Benteng Surabaya (2015)” & “Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? (2018)”
Gambar ilustrasi : Eddy Marga