Pertempuran dikawasan Dinoyo dapat kita simak dari penuturan Loewito yang pada saat itu menjadi anggota tim panser dari pasukan Polisi Istimewa :
“Pada pagi hari tanggal 29 Oktober 1945, kami mendapat perintah untuk membantu rakyat kampung Dinoyo yang sedang mengepung tentara musuh yang menduduki gedung British-American Tobacco (BAT) di Jalan Ngagel. Mereka meloloskan diri dari gedung karena metode pengepungan rakyat yang kurang baik.”
Musuh cepat lari menuju kolong jembatan Ngagel yang cukup memberi perlindungan. Mereka sebesar satu regu menggali lubang perlindungan hingga aman karena tak ada yang berani mendekatinya. Setiap saat mereka melepaskan tembakan.
Rakyat khawatir bila malam tiba, mereka dapat lolos keluar dari kepungan. Kami bertiga datang dengan panser tak dapat berbuat banyak. Melempar granat kebawah jembatan hasilnya meragukan. Melepaskan serentetan tembakan senapan mesin dari samping jembatan pun hasilnya nihil.
Kami berunding dengan para pemuda yang bersedia renang dikali untuk mendekat dan melemparkan granat kedalam lubang perlindungan musuh,akan tetapi resikonya terlalu besar sehingga rencana ini dibatalkan. Ada beberapa pemuda membakar kertas dan rumput kedalam lubang dikolong jembatan, musuh tetap tak mau keluar juga.
Ide ini menggugah pikiran kami. Kami putuskan untuk melubangi jembatan dengan alat ganco dan lain-lain. Lubang yang dibuat tepat diatas tempat perlindungan musuh dapat digunakan untuk membuang bensin untuk kemudian dinyalakan.
Rakyat bersedia mengusahakan bensin yang diperlukan dan membawanya ke jembatan. Mereka berhasil mengumpulkan secara beramai-ramai satu drum penuh dan menuangkannya kedalam lubang jembatan yang segera menggenangi lubang perlindungan musuh. Setelah semua dituangkan, hanya tinggal menyulutnya yang segera menyala dengan ledakan.
Rakyat menunggu dengan sikap siap menembak atau menyediakan batu menunggu keluarnya musuh dari kolong jembatan. Ternyata satu persatu lari menyelamatkan diri dari kobaran. Api bercampur air sungai menyulitkan mereka untuk menembak, sebaliknya mereka menjadi bulan-bulanan lemparan batu dan tembakan senapan. Mereka sama sekali tak berdaya dan menemui ajalnya.
Rakyat kemudian beramai-ramai terjun mengambil senjata dan alat persenjataan lain yang ditinggalkan musuh. Kami yang siap ditepi sungai tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya menyaksikan cara penumpasan musuh oleh massa rakyat.
Ketika hendak kembali rupanya ban panser kami berlubang kena tembakan, cukup menyulitkan karena kami tidak membawa peralatan yang diperlukan. Akan tetapi semangat rakyat Dinoyo pimpinan Haji Rachman yang bergotong-royong mengganti ban panser hingga kami dapat pulang kembali merupakan kenangan manis yang membanggakan. “
Jembatan itu hingga kini masih ramai dilalui lalu-lalang kendaraan, sebuah mall perbelanjaan dibangun tepat diseberangnya. Nasib bekas NV Braat jauh lebih mengenaskan, tak ada penanda bahwa kawasan ini dahulu adalah kawasan industri kota Surabaya yang menjadi objek vital, bahwa begitu banyak nyawa pekerja pabrik yang hilang dilokasi ini. Hanya tersisa sebuah bangunan kecil yang dimanfaatkan sebagai arena futsal. Sisanya berupa reruntuhan lahan kosong dengan tanaman-tanaman liar.
Nasib Jl Dinoyo tak jauh beda, bukan hanya bangunan bersejarah yang mulai tergerus. Berita dari Jawa Pos pada minggu awal bulan Agustus 2018 menuliskan bahwa sebagian dari nama jalan bersejarah ini akan dirubah…
Dinoyo, sebuah kepingan kenangan indah. Seberapa jauh kita peduli?
*sumber utama dari arsip kesaksian Mayor Polisi (Purn) Loewito yang tersimpan di DHD 45 dan Perpustakaan Leiden,ditulis ulang dibuku “Surabaya Dimana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu”