Home / Article / Terloepa

Terloepa

(Oleh Ardi Wina Saputra)

  Kupandangi dari balik kelambu jendela kamar, puluhan burung besi mengitari langit Surabaya. Menggelepar-geleparkan sayapnya bermandikan terik sang surya. Berderu gaduh riuh menceracau satu sama lain, sepakat hendak memuntahkan isi perut masing-masing. Biasanya, mereka datang untuk menyemburkan halilintar atau menghujani tanah dengan butiran peluru. Namun, kali ini gelagat mereka berbeda. Perlahan kusibakkan jendela yang sedari tadi mengatup rapat. Lembaran-lembaran kertas berloncatan masuk menerpa. “Sudah saatnya aku membalas seluruh jasa-jasamu Pap!” ujarku sembari tersenyum membaca isi surat itu. Sejenak kulirik almanak di dinding kamar, termaktub 9 November 1945.

***

    “John, sedang apa kau?” suara Hellena mengagetkanku. “Cup cup cup, mijn lieve[1] kau tetap di sini dulu ya!” kuletakkan browning yang baru saja kubasuh permukaan ganggangnya sembari kukecup ujungnya. Hellena tiba-tiba menggebrak pintu kamar, mendobrak masuk lalu duduk di ranjang, tepat di sisiku.

    “Apakah kau sudah tahu tentang semua ini?” ia lalu menyodorkan secarik kertas ultimatum yang disebarkan oleh sekutu tadi siang. Aku hanya tersenyum menatap wajahnya yang dungu. Bagiku, dia masih anak-anak. Meskipun sebelum Jepang datang, telah dinyatakan sebagai murid Hogere Burger School[2] (HBS) tingkat akhir. “Tentu saja Hellena, aku sangat tahu,” kutatap hijau matanya yang mulai terlihat membesar bagian pupilnya.

    Kudekap, kuusap rambutnya dan kuarahkan wajahnya ke dadaku. Sejenak kemudian dada ini terasa basah. Terdengar bunyi sesenggukkan dari bibir tipis merah jambu Helena. “Hellena, semua akan baik-baik saja!”. Kubiarkan ia melampiaskan segala kepiluan.

   “Tahukah kau John, aku hanya tak mau kehilanganmu, belum genap sebulan kau pulang, sudah mau kau pergi lagi!” ucapnya dengan gemetar. Kutegakkan tubuhnya lalu kuangkat dagu runcing itu agar mau menatapku. Kedua bola mata Hellena masih berkubang. Perlahan kuarahkan punggung jari telunjuk ke sudut mata kananya lalu kuusap air mata yang sedari tadi mengucur deras di pipi.

    “Kau kira apa aku juga mau kehilanganmu Hellena?” Ia menggelengkan kepala.

    “Ini adalah satu-satunya cara yang kugunakan utuk balas budi atas kebaikan NICA setelah membebaskanku, kawan-kawanku, dan Huiyer dari penjara Werfstraat[3] bulan lalu!” kucoba meyakinkannya.

    “Tapi langkah yang kau ambil ini terlalu cepat! Kondisimu juga belum pulih benar!” Hellena meronta.

    “Tidak ada jalan lain lagi Hellena, hanya ini yang kubisa!”.

    “Stop John! Kau harus ikut Tentara Rakyat! Kita sudah Merdeka! Aku dan Mak Par juga telah berbakti pada republik, diam-diam kami sumbangkan tenaga terlebih perabot di rumah ini pada mereka agar diolahnya menjadi sesuatu yang lebih berharga!” Ia menyentakku.

  Tubuhku terperanjat, mundur ke belakang. Sungguh pola pikir dara manis ini telah terkontaminasi kharisma Sukarno! Ah atau mungkin telinganya telah penuh dijejali mantra-mantra Bung Tomo! Huh ingin rasanya kubanting radio yang pernah kubelikan lima tahun silam padanya. Akupun menghela nafas panjang, menenangkan diri dan bersegera memberi petuah.

    “Hellena sekarang coba kau ingat ketika Papi dulu tiba-tiba menghilang? Pasti Papi diculik oleh inlander[4] yang beringas itu! Sepekan sebelum Papi pergi, ia sempat bercerita bahwa para kulidi pabrik mulai berani!” tuduhku.

    “Jangan kau menghujat sembarangan!” Hellena membantahku.

    “Oh jadi kau mulai membela para jongos itu? Lupa kau ketika Mami diculik oleh para kempetai[5]? Saat itu apa yang inlander buat? Tidak ada! Malah kulihat mereka menunduk pada Jepang! Apa kau mau kita seperti itu!” kujejalkan pertanyaan memberondongnya.

   Tangisnya belum berhenti, malah semakin menjadi. Kubiarkan saja mata bak zamrud itu melumerkan kilaunya. Sudahlah, nanti jika kilauan itu mengering ia akan tahu betapa berharganya wejanganku. Wajah yang tertunduk itu terangkat pelan.

    “Aku ingat John, aku ingat semuanya, semua penderitaan itu aku ingat! Namun memanglah ini nasib yang harus kita terima sebagai halfbloed[6]!”. Seketika itu wajah Hellena mendongak dan penuh dengan tatapan tajam.

    Kini giliran ia yang mulai mendebatku. “John, saat aku sekolah di HBS, teman-temanku nonik totok semua, mengejekku dengan sebutan Nyai! Saat Nipon datang, mereka malah menyelamatakan diri masing-masing, melupakanku! Apa kau masih membela mereka? Atau jangan-jangan kau juga ingin melupakanku? Verdome[7]!”.

  “Cukup! Hentikan!” sekuat tenaga kuhentakkan kakiku dan seketika itu pula aku berdiri tegap di hadapannya. Jemari tangan kananku membujur kaku layaknya tapak budha, sedikit mundur ke belakang dan siap menghujam.

    “Lakukan! Lakukan John! Jika itu bisa membuatmu sadar, Cepat!” Hellena menantang balik.

  “Berhenti!!!! Sudah toh ngger[8]!” suara itu terdengar basah seiring dengan gemertak langkah klompen yang menuju kemari. Tiba-tiba Mak Par datang menghamburkan dirinya ke arah kami. Bergegas Hellena disahut sedikit menjauh dariku lalu didekap dengan erat.

   “Nyo kau apakan adikmu hingga ia bersedih begini? Kau tahu betapa susah untuk menenangkan tangisnya Nyo!” bentak Mak Par.

  Dulu ketika kami bertengkar, Mak Par selalu menenangkan kami. Papi sibuk mengurus Handels Vereeniging Amsterdam[9] (HVA) di Comedistraat[10], sedangkan Mami? Huh mami malah sibuk lulur dan terus menerus mempercantik diri. Katanya agar papi betah di rumah. Oh, mungkin saja Hellena jadi berubah karena pengaruh Mak Par! Bukankah ia pribumi asli? Warna kulitnya jauh lebih pekat dari kami. Ya, ya, ya selama ini Hellena hanya tinggal bersama Mak Par, pasti doktrin-doktrin usang itu yang ditanamkan Mak Par pada adikku hingga jadi begini.

    “Nyo sekarang duduklah! Tenangkan dulu pikiranmu, alangkah baiknya kau turuti saran adikmu!” kata Mak Par menenangkanku. Kali ini aku tidak menggubris perkataanya. Kuambil browning yang sedari tadi teronggok di ranjang. Kuusap dan kukecup ujungnya yang mengkilat, lalu kusarungkan ke pinggang. Tak lupa pula kusiapkan biji-biji granat yang telah kurancang jauh-jauh hari sebelum perang ini dimulai. Kumasukkan rapi berjajar di tasku yang berwarna hijau kumal. Melihat hal itu Mak Par hanya menggelengkan kepala, ia tetap mendekap Hellena yang sedari tadi berisak tangis.

   “Nyo, kenapa kau tak mempedulikan perkataanku?”. Sejenak kugeser bola mataku padanya, lalu aku kembali berkemas.

  “Hmmmm, baiklah Nyo jika kau tak mau bicara padaku. Lupa kau nampaknya kalau aku dulu yang menyuapimu, merapikan kamarmu, bahkan menyiapkan segala keperluanmu saat sebelum berangkat menuju sekolah rakyat,” tegasnya.

  “Cerewet Mak!” Setelah berucap demikian, mulutku tetap kukatupkan rapat. Malas rasanya mendebat pribumi yang sudah bau tanah ini. Persiapanku sudah hampir selesai. Kuangkat tas punggung sembari kuselempangkan bayonet di tubuh.

  “Nyo tunggu! Ini bawalah jimat pemberian dari Mamimu,” ia menyodorkan amplop coklat bersegel cap merah padaku.

    “Apa ini Mak?” tanyaku heran.

    “Mana kutahu Nyo, baca tulis saja tak mampu aku. Kumohon nanti bacalah itu Nyo, satu-satunya wasiat dari Mamimu!” ujar Mak Par.

   “Kubaca nanti saja Mak! Aku sudah tak punya waktu lagi!” kakiku melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Hellena tetap membenamkan wajahnya dalam pelukkan Mak Par.

  “Tunggu Nyo!” suara Mak Par menghentikan langkahku. “Sebentar ya Nik!” dibaringkannya Hellena di ranjang. Hellena mengangguk pelan lalu rebah. Mak Par berlari ke arahku yang sudah sampai di ambang pintu. Ia lalu bersimpuh di hadapanku, meraih kedua kakiku dan memegang sepatu dengan erat. “Sejak sebelum berangkat sekolah dulu hingga sebesar ini kau selalu lupa menalikan tali sepatumu Nyo!”.

***

    Senja mulai turun. Di teras kulihat Jip Willys yang terbuka atapnya siap menjemputku. “Bravo John! Kita siap perang sekarang!” ujar Hassel si pengemudi sembari menekan klakson tiga kali. Mathew di sebelahnya hanya bisa tertawa.

  “Godverdome! Kau kira aku siapa diklakson segala!” sahutku sembari loncat ke tempat duduk belakang, tepat di samping Dirck.

   “Hai John, tunjukkan aku jalan menuju Westerbuitenweg[11]! Kau kan lahir di Darmo Boulevard[12] sini!” ujar Hassel.

  “Yes Sir!” ucapku sembari duduk tegap bersikap hormat. Hassel dan Mathew tertawa riang. Mereka beasal dari Britania Raya, dan baru tiga bulan ini menginjakkan kaki di Surabaya. Kehadiran mereka jelas dikomandoi oleh Netherland Indies Chivils Administration (NICA) dan sekutu. Tujuannya sudah pasti, merebut kembali Hindia Belanda.

   “Roken[13]?” kusodorkan rokok pada Dirck.

   “Ja danke[14],” ia lalu mengambil satu. Dirck memang dikenal pendiam. Pria ini memiliki kemahiran dalam merakit bom. Maklum katanya dulu pernah ambil bagian di Atwerp. Seratus persen Belanda asli dia. Kemampuannya berbahasa juga tidak diragukan lagi.

   Duduk bersama Dirck berasa membosankan, ia hanya merenung meratapi senja yang membenamkan mentari. Sepi sekali perjalanan menuju Westerbuitenweg, mungkin para laskar itu sedang berdoa untuk kematian mereka. Saat senja hendak berganti malam, biasanya mereka berdoa. Oh iya aku baru saja ingat, tadi Mak Par memberikanku amplop. Mulai kubuka isinya.

     Mijn lieve Johanes van Marwijk (John)

     Nyo, bagaimana rasanya jadi orang yang terlupakan? Pasti menyakitkan ya? Itulah yang mami, Hellena dan Mak Par rasakan saat ini Nyo. Siapa yang melupakan? Papimu Nyo! Papimu dan kaumnya!

     Melalui surat ini mami ceritakan yang sesungguhnya Nyo, meskipun mami tak tahu dalam keadaan apa kau ketika membaca surat ini. Nyo apa kau tak curiga mengapa Mak Par begitu dekat pada Mami? Begitu dekat pada keluarga kita? Cintanya padamu dan Hellena sungguh berkelimpahan. Itu semua karena Mak Par adalah ibu kandungku.

    Dia tak punya suami Nyo. Ayahku dulu adalah Londho yang sukanya main perempuan. Parwati yang gadis manis saat itu adalah korbannya, mamimu adalah anak dari hasil kawin itu. Menanggung kehamilan hingga membesarkanku seorang diri adalah wujud ketegarannya. Awalnya tiada tega ketika Tuan Robert van Marwijk, Papimu yang bekerja di HVA itu memintaku untuk jadi nyai di rumahnya.

   Mana ada wanita yang mau dipersunting menjadi nyai? Mami tak mampu memilih. Di jaman perang ini sengsara apabila hidup tak ikut orang. Awalnya Tuan Marwijk tak sebengis yang mami duga. Ia mengajari banyak hal kepada mami. Mulai dari ilmu hitung-menghitung hingga baca tulis. Tugas mami hanya satu, yaitu harus siap sedia melayaninya kapanpun. Sedangkan Mak Par ditugaskan masak dan bersih-bersih. Itu semua agar mami tak capek-capek ketika papimu minta dilayani.

    Waktu bergulir sangat cepat. Seiring berjalannya waktu, tak mampu lagi mami layani nafsu papimu setiap hari. Itulah yang membuatnya mulai jarang pulang. Mami mendengar dari berbagai sumber bahwa papimu sering main-main ke Wasterkade Kalimas[15] dan Oasterkade Kalimas[16]. Di dua tempat itu banyak para pelacurnya. Paling parah ketika ia menghabiskan uangnya di Societeit Concordia[17], Malang.

   Gerak-geriknya untuk meninggalkan kita semakin hari semakin nyata. Kulihat dua minggu sebelum ia menghilang, ada surat dari Amsterdam menyuruh papimu untuk segera kembali.Di surat itujuga dituliskan bahwa banyak gadis yang hendak dikawinkan dengan papimu. Iming-iming itulah yang membuat papi pulang dan menceritakan cerita palsu padamu.

   Maaf Nyo, mami sengaja simpan rahasia ini padamu karena mami anggap kau belum layak untuk mendengarkan cerita ini saat papi pergi. Mami tahu bahwa suatu saat nanti mami akan ceritakan semua ini padamu. Nyo tadi pagi kempetai kesini, ia mengatakan bahwa letnannya menginginkan wanita Indo-Jawa jang cantik untuk menemaninya tidur.Semenjak kau ditawan di penjara Werfstraat, rumah hanya dihuni aku, Hellena, dan Mak Par. Beruntung Hellena karena saat kempetai datang, ia sedang berada di HBS. Saat hendak dibawa, aku sengaja minta waktu sebentar untuk menulis surat ini padamu.

    Sinyo sekarang kau sudah tahu semuanya. Jika mami harus berakhir seperti ini maka biarlah, namun kumohon dengan sangat padamu untuk melindungi kedua orang yang sama-sama kita sayangi itu.Jangan kau mau ditipu oleh Nederlands atau Nipon. Mereka sama saja jahanamnya!Nyo, apakah kau tak berniat melupakan mamimu?

                                                                                                      Mamimu Tersayang,

                                          Margaretha Hartati

    Kuremas surat itu dengan kuatnya. Darah semakin mendidih. Mulai kulirik sekelilng, tetap sama. Mathew dan Hassel saling bercanda. Dirck tetap memalingkan wajah padaku. Inikah yang dinamakan kawan? Mereka membutuhkan tenagaku, tapi tak menghargai keberadaanku. Rasanya aku benar-benar telah dilupakan.

   Perjalanan sudah hampir sampai, bendera merah putih biru terlihat jelas di Westerbuitenweg. Ultimatum yang kubaca tadi siang menyebutkan bahwa disinilah seharusnya para pribumi menyerahkan senjata mereka, mulai jam 6 sore hingga jam 6 pagi esok. Di depan ada palang dan disampingnya terdapat posko. Sistem penjagaan berlapis nampaknya. “Stop here!” teriakan itu dilontarkan oleh seorang serdadu Gurkha yang berdiri di samping posko. Kamipun berhenti.

   “Bravo Rogers! Sudah lewat jam enam sore, tak kulihat sama sekali batang hidung pribumi!” tanya Hansen pada serdadu itu.

   “Bravo Rogers! Ada satu itu duduk di belakangmu! Silahkan lewat!” ucapan itu disambut gelak tawa seisi jip dan tawa seisi posko. Verdome! Mereka menertawakanku. Memang aku tidak seputih mereka. Hanya seragamku saja yang sama. Sungguh dalam hal ini mami benar.

    Jip Willys kembali melaju mengarah ke kerumunan. Di kiri jalan ada mini dodge yang berbaris rapi, lengkap dengan para serdadu yang sedang mempersiapkan senjatanya. Sedangkan di sebelah kanan, zijspan[18] berbaris rapi dan terdengar meraung. Sedang dipanasi.

   “Hey mestizo[19] apa yang kau lihat? Wellcome to the inferno[20]!” kata Dirck yang sedari tadi membisu. Pecah lagi tawa yang dijuruskan padaku. Kali ini parah, terlihat dibuat-buat. Lidah mereka menjulur seperti anjing neraka berkepala tiga yang siap melahap pendosa. Menyalak-nyalak merobek kendang telinga langit.

  Rembulan sedikit terangkat. Nokta kelam membanjiri angkasa.Aku merunduk tersenyum. Tas kumal teronggok lesu di kakiku, terlihat biji-bijigranat berjajar rapi. Kulihat kepala mereka masih tertawa menengadah sambil bersumpah serapah. Perlahan kugigit pucuk granat yang baru saja kuambil dari dalam tas. Kuletakkan pelan di bawah kakiku. Tinggal tunggu semenit lagi! Browning yang sedari tadi bertengger di pinggang saatnya dimainkan. Kukecup moncongnya perlahan, lalu kuarahkan ke arah Hassel.

“Dorrrr!!!!!”

    Begitu segar darah Hassel menyembur membasahi wajahku. Dengan kecepatan 30 km/h jip langsung oleng menabrak barikade mini dodge. Kulihat wajah Derk dan Hansen mulai ketakutan. Derk menendang pintu samping hendak loncat keluar, namun kutarik kerahnya dan kuarahkan telinganya yang kasar tepat ke bibirku. “Wellcome to the inferno! dari mestizo yang terlupakan di negeri ini!”. Seketika itu, gemercik api dari bawah kakiku membuas menjalar naik ke atas diiringi dentuman yang menggema memecah langit Surabaya. Berkobar meronta membara hingga esok mentari tiba.



[1] sayang
[2] setara SMA
[3] Penjara Kaliosok
[4] ejekkan bagi pribumi
[5]tentara Jepang
[6]darah campuran
[7]Umpatan bahasa Belanda (bodoh)
[8]Panggilan kepada anak dalam bahasa Jawa
[9]Sekarang PTPN
[10]Sekarang Jl. Merak
[11] Sekarang Jl. Indrapura
[12] Sekarang Jl. Darmo
[13] Tawaran untuk merokok
[14] Ya terima kasih
[15] Kalimas Barat
[16] Kalimas Timur
[17] Rumah Bola di Malang, dulu sering diadakan pesta di tempat ini, sekarang Sarinah
[18] Motor gandeng samping
[19]Hasil perkawinan campuran dua bangsa dan ras berbeda
[20]neraka

About Ady Setyawan

Ady Setyawan, penulis dan penghobi sejarah terutama era perang kemerdekaan. Buku yang pernah diterbitkan berjudul : Benteng Benteng Surabaya ( 2015) , Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? ( 2018 ) dan Kronik Pertempuran Surabaya ( 2020 )

Check Also

Insiden Kekerasan Imlek di Surabaya Tahun 1912

Tahukah anda bahwa perayaan Imlek tahun 1912 di Surabaya berubah menjadi sebuah panggung pertikaian sengit …