Home / Article / Pengakuan

Pengakuan

Pengakuan*

Oleh:

Joe Pradana

 

Kekesalan itu membuat sekujur tubuhku serasa terbakar dalam nyala api. Kecewa teramat sangat, menjejal gondok di leherku. Perasaan panik melihat respon para tamu yang datang, membuatku serasa sedang dibidik ribuan anak panah yang siap melesat dan mengakhiri hidup’ku.

 

Malu!!!

 

Aku mulai mengatur ritme nafas meski telinga ku masih memerah mendengar umpatan yang ditujukan pada Mbah Kung’ku.

 

Rai’mu ora tau ngeraksakne nggotong mayit sing mati keno tembak, ora tau ngerti wujud bedil’e Inggris, kok ngaku-ngaku…!!! ora usah kakean cangkem…!!! Mudun’o koen…!!! ora pantes koen ngomong koyok ngono iku…!!! Aku iki sing ngalami dewe, ojok ngaku-ngaku koen…!!!” Pak Tua dengan tubuh gemetar itu terus menghujat Mbah Kung’ku.

 

Puluhan pasang mata yang berada di ruang auditorium Museum Tugu Pahlawan itu terus memandang ke arah Mbah Kung’ku. Pandangan tajam penuh kecewa yang ku lihat, perlahan berubah menjadi tatapan rasa iba.

 

Mbah Kung meletak’kan microphone yang ia pakai. Dengan baju Safari kebanggaanya, dipadu celana kain dan sandal kulit warna coklat, ia berjalan pelan…pelan…meninggalkan panggung yang sempat ia kuasai, sebelum berubah menjadi petaka yang mempermalukannya.

 

“mohon maaf hadirin sekalian…saya mohon maaf…nanti akan kami jelaskan lagi..!!!”, dengan memelas aku memohon agar para tamu berkenan memaklumi hal tak terduga ini.

 

***

Aku bergegas mengejar Mbah Kung’ku yang entah sudah ke mana.

 

Di tiap sudut museum, mata ku tak menangkap ada pantulan bayangan Mbah Kung.

 

Mbah Kung’ku adalah pahlawan buat’ku. Ceritanya tentang pengalaman mengikuti pertempuran 10 Nopember di Surabaya, telah membangun kebanggaan besar dalam diri’ku sebagai cucu pejuang.

 

Itulah mengapa, aku berani menawarkan pada Talita, sahabatku, agar mengundang Mbah Kung untuk berkisah pada generasi muda tentang pengalamnya bertempur mempertahakan kemerdekaan melawan tentara Inggris.

 

Namun, serangan dari mulut Pak Tua tadi telah membuyarkan panggung milik Mbah Kung hari ini. Pak Tua tadi, yang aku sendiri tak tau namanya, konon adalah orang yang benar-benar terlibat dalam perang 70 tahun lalu.

 

Aku pun melangkah menuju pintu keluar, karena tak ‘ku temukan Mbah Kung di dalam museum.

 

Mata ku awas!

 

Aku melihat ke sekeliling area lapangan hijau Tugu Pahlawan. Bangku-bangku taman nampak kosong. ‘Kemana Mbah Kung?’, tanya ku dalam hati

 

Ku putari tiap sudut tanah bekas markas Kempetai itu.

Di tengah terik dan kebisingan Surabaya yang sedang mendidih, telinga ku menagkap suara tangis.

 

“Sepurani aku yo Cak Rusli..Aku ngaku salah mbek peno”

 

Itu Mbah Kung…!!!!

 

Mbah Kung’ku sedang tertunduk lesu, menangis sesenggukan di depan sebuah kendaraan tempur. Aku tak paham apa namanya.

 

“Kung, njenengan teng mriki? Woooalah Kung, kulo bingung madosi penjenengan..Pun to Kung, wonten nopo?”aku berusaha menghentikan tangisnya, namun justru air mata’ku yang tumpah, merasakan kepedihan pria tua berumur 85 tahun ini.

 

“Sepurani aku yo Yu..Mbah’mu iki wes ngapusi..!!” suara’nya mengiba dan membuat air mata’ku semakin mentes deras.

 

“Bayu percoyo kaleh Mbah Kung. Sak niki Mbah Kung coba cerita sama Bayu, sing temenan niku pripun” aku berusaha menenangkan keadaan dan mengajaknya bercerita.

 

“Panser iki Yu..Cak Rusli mati pas ngerebut Panser iki..tapi aku malah mlayu..wedi melu gegeran ngelawan Inggris..aku iki ora becus njogo dulur’ku dewe…!!!” sambil masih sesenggukan, Mbah Kung akhirnya memulai sebuah cerita.

***

“Koen iku arek cilik, pantese ngrewangi di Dapur Umum! Kono, melu Bu Dar, ojo ngetutno aku ae” ucap Rusli dengan penuh rasa sebal karena terus dikuntit oleh Dayat.

 

Aku yo pengen melu ngerasakno perang, serakah koen, Aku pengen nyekel Arisaka ae gak oleh…!!! Kepengen diarani jagoan ta koen..?” kekesalan Dayat menjawab perintah Rusli.

 

“Aku iki kebal senjata Yat, Peluru gak wani nembus kulit ku..yo lak koen? Di cokot nyamuk ae kulit mu bentol-bentol”, perkataan jumawa keluar dari mulut Rusli, seorang pemuda kampung Pandean.

 

Rusli dan Dayat adalah sodara kandung.

Tapi mereka bagai anjing dan kucing, tak pernah akur.

Terkadang juga bagai jangkar dan dermaga, saling merindukan.

 

“Kuping mu gak krungu ta Cak, aku di utus Bapak melu njogo koen!” gertak Dayat pada Rusli.

 

“Halah….!!! Ngerti opo koen iku, lapo gak Bapak ae sing mudun perang, melu njogo aku..saiki gak wayae taek-taek’an mbek koen Yat…!!!”, balas Rusli dengan rasa makin dongkol.

 

“Wes ngalio, timbang mati enom koen ndek kene!” perintah Rusli pada adik laki-lakinya itu.

 

“Jancok koen iku Rus..!!”umpat Dayat penuh kesal.

 

“Bah…ra ngurusi dapuran’mu..arek gak isok di’eman…!!!” kata Dayat sambil mengelus ujung popor Arisaka yang sedang ia pegang.

 

Dari arah utara, Mat Toha lari terbirit-birit bagai dikejar demit di siang bolong. Celananya basah oleh air yang membeludak dari katung kemihnya. Keringat sebesar biji jagung mengalir deras dari sela-sela rambut yang menutupi kepalanya. Mat Toha sangat ketakutan!

 

“Inggris teko…Inggris teko…Awas….Waspada kabeh….!!!”

teriakan Mat Toha membuat seluruh anggota PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang berjaga di markas Alun-alun Contong segera bersiap untuk menyambut kedatangan pasukan Ayam Jago milik Inggris.

 

Derap suara sepatu lars pasukan Ayam Jago pimpinan Doulton menggetarkan tanah.

Jawara perang dunia ke dua itu melepaskan tembakan ke arah udara. Menghadirkan teror dan memecah sunyi.

 

Bahkan, burung pun enggan terbang di atas langit Surabaya pada siang itu, minggu ke dua bulan Nopember 1945.

 

“Ledak’kan bomnya……..!!!!” perintah Rusli pada para pemuda yang tengah siaga.

Tepat di persimpangan Alun-alun Straat di sebelah selatan Viaduct, sebuah bom meledak. Suaranya menggelegar..!!! Getarannya merobohkan puluhan pohon. Tentara Inggris bergelimpangan satu persatu.

 

Tembakan dari arah selatan rupanya tak berbalas.

 

“Aman…!!” teriak salah seorang pemuda.

 

Para pemuda keluar satu persatu, menembus barikade dan melompat dari atap-atap bangunan tempatnya bersembunyi.

 

Di tengah riuh suka cita karena telah mampu merebut Panser , tiba-tiba terdengar bunyi tembakan! Mengagetkan para pemuda. Pertanda belum aman betul!

 

Bunyi itu disusul oleh suara yang keluar dari mulut Rusli,

Ooooouuuughhhhh…”

 

Mulutnya mengeluarkan darah, lubang peluru bundar bersarang di punggungnya, menembus jantung dan mencabut nyawa Rusli seketika.

 

“Cak Russssss……!!!!!” teriak Dayat.

***

“Iku kisah sing sejatine Yu. Pasukan Inggris teko maneh. Cak Rusli ditembak pas berusaha ngerebut Panser iki.” Kata Mbah Kakung menuntaskan kisahnya.

 

“Yu..terno Mbah mu iki mlebu maneh menjero, wes kewajiban ku cerito opo ono’ne..Pancene dudu aku sing ngerebut Panser iki! Aku malah nangis jerit weruh Cacak’ku mati ditembak Inggris. Aku mlayu nggolek panggon gawe ndelik, naliko arek-arek Pandean podo perang..Ayo, dituntas’no ceritane ndek jero..!!!” kepercayaan diri Mbah Kung telah kembali.

 

Dengan mantap ia melangkah masuk, untuk memberikan pengakuannya.

 

(*sebuah fiksi sejarah)

Ilustrasi dari Lukisan Sochieb diambil dari buku ‘Peristiwa 10 Nopember dalam Lukisan’.

About Ady Setyawan

Ady Setyawan, penulis dan penghobi sejarah terutama era perang kemerdekaan. Buku yang pernah diterbitkan berjudul : Benteng Benteng Surabaya ( 2015) , Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? ( 2018 ) dan Kronik Pertempuran Surabaya ( 2020 )

Check Also

Insiden Kekerasan Imlek di Surabaya Tahun 1912

Tahukah anda bahwa perayaan Imlek tahun 1912 di Surabaya berubah menjadi sebuah panggung pertikaian sengit …