Home / Article / MATAHARI YANG INGIN TENGGELAM DI BENTENG KEDUNG COWEK

MATAHARI YANG INGIN TENGGELAM DI BENTENG KEDUNG COWEK

 MATAHARI YANG INGIN TENGGELAM DI BENTENG KEDUNG COWEK*

Oleh:

Joe Pradana

 

“..sebagian dari mereka tewas di Benteng-Benteng Kedung Cowek. Semoga rakyat Surabaya juga mengenang putera-puteri Sumatera yang gugur sebagai Pahlawan tak dikenal dalam mempertahankan

kota Surabaya..”

-Wiliater Hutagalung-

“semakin banyak darah ku yang menetes pada lantai Benteng ini, aku yakin akan semakin kuat benteng ini bertahan dari gempuran mesin perang Inggris. Biar…biar aku tuntaskan pertempuran ini…terima tembakan’ku keparat…!!!” teriakan lantang keluar dari mulut Suryo.

 

Mantan pasukan Giyugun yang pernah mencicipi keberingasan sekutu di Morotai itu, kini tengah bersiap membidik puluhan Mosquito dan Thunderbolt yang sibuk menebar teror di atas langit Surabaya.

 

Hari itu 12 Nopember 1945 dan kekacauan masih tumpah. Asap membumbung tinggi dari balik perkampungan nelayan dan si Jago Merah menari dengan beringas, melumat deretan kompleks armada laut peninggalan Belanda.

 

Hujan darah menghadirkan bau amis yang mengerikan. Neraka benar-benar jatuh di Surabaya. Selat Madura di buat ramai dan bergemuruh. Ledakan artileri dari mulut moncong meriam kapal-kapal inggris bersahutan menghadirkan suara tak beraturan..bising dan menyeramkan.

 

Dari atas kapal H.M.S Glenroy, mocong meriam membidik Benteng Kedung Cowek. Sebuah peluru melesat dan menghujam sisi pertahanan Republik. Ledakannya menggetarkan konstruki Benteng yang dipertahankan oleh puluhan manusia pada kiamat kecil hari itu.

 

Bunyi menggelegar pecah dan menggema. Membuat gedang telinga robek. Disusul gumpalan asap hitam berbalut nyala api dan serpihan batu yang berhamburan.

 

Ledakan itu telah memindahkan tubuh Suryo dan puluhan pasukan lainnya.

Terpental jauh…!!!

 

Pasukan yang tergabung dalam Batalion Sriwijaya berhamburan bagai kapas yang ditiup angin.

 

“Ahhhhhhhrrrrgggggggg” teriakan dari salah seorang Pasukan.

Teriakan itu hanya sekejap lalu, disusul kembali oleh ledakan peluru dari moncong-moncong meriam kapal Inggris.

 

Dalam kondisi menyeramkan itu, Suryo yang tubuhnya juga terpental jauh dari tempatnya membidik pesawat Inggris, masih mencoba berdiri dan melanjutkan perlawanan.

 

Lengan bajunya robek. Dirobek oleh tulangnya sendiri yang patah, dan mencuat keluar. Darah segar mengalir dari dading-daging yang membentuk luka menganga pada lengan kanannya.

 

Tapi ia sama sekali tak menyadari luka itu, hingga Tarmin menghampirinya dan berusaha membopongnya menjauh dari benteng.

 

ambilkan…tolong ambilkan senjata’ku…hey kau…!!! Ayo kita pulangkan orang-orang Inggris itu…ahhhhh….tangan’ku..kenapa tangan ku tak bisa digerakkan…? ahhhhrrrggg”, suara dan jeritan keluar dari mulut Suryo…kemudian jeritan itu ditelan oleh kebisingan di tengah derap deru peperangan.

 

“Suryo, tenangkan dirimu, sudah jangan dipaksakan. Kita harus segera menjauh dari tempat ini,” ucap Tarmin.

 

“Min..aku ingin mempertahankan Benteng ini…Min…ayo kita tantang mereka berkelahi saja…Min…Tarmin…dengarkan aku…!!!!” Suryo terus mencecar rekannya agar mau menuruti pintanya.

 

“Sudah Yo, kau harus diobati dulu, baru kita lanjutkan pertempuran..keselamatan kita saat ini jauh lebih penting..!!” Tarmin berusaha membujuk Suryo.

 

Dengan tandu seadanya, Suryo dibawa menjauh oleh Tarmin. Tidak lama berselang, datang bala bantuan yang mengangkut beberapa korban yang terluka untuk dibawa menuju tenda Palang Merah.

 

Di tengah perjalanan, mulut Suryo terus berceracau.

Ia menyebut nama Bapaknya berulang kali…lalu ia juga menyebut nama Benteng Kedung Cowek…

 

Lamat-lamat matanya mulai gelap. Di antara batas hidup dan mati karena kehabisan banyak darah, Suryo ditarik kembali ke masa silam. Terlintas kisah dari Ibunya, saat Bapaknya masih hidup, lebih tepatnya sebelum dinyatakan tidak kembali lagi..kisah itu seolah hidup dan Suryo datang didalamnya..

***

Suryo merupakan anak dari Ir.Martopo Diprodjo, seorang arsitek yang bekerja di jawatan militer hindia Belanda. Martopo muda pernah menjadi asisten G.C.Citroen, karena keduanya juga merupakan alumni Rijknormaal Scholl di Amsterdam. Kerap berselisih dengan Sang Mentor, Martopo akhirnya keluar dari biro arsitek milik Citroen dan bergabung dengan jawatan militer Hindia Belanda di Surabaya.

 

Sebagai pribumi, karirnya berjalan ditempat. Sewaktu proyek pembangunan Benteng Kedung Cowek dilaksanakan, Martopo dengan kemampuan yang laur biasa sekaligus lulusan Belanda, hanya diberi kepercayaan sebagai mandor yang mengawasi para pekerja agar menjaga kedisiplinan dalam pekerjaan mereka.

 

“Begitulah tabiat busuk Belanda, desakan politik etis ternyata tak juga membawa perubahan. Orang Indonesia dengan kemampuan besar seperti mu, sangat sayang bila hanya menjadi mandor proyek. Kau harusnya bisa menduduki jabatan yang lebih tinggi Mas..!!” ucap Aminah, istri Martopo.

 

Aminah binti Abdurahman adalah seorang perempuan Sumatera. Keluarganya merupakan saudagar kaya dari Belawan yang hijrah ke Surabaya. Di Kota Pelabuhan itulah, Aminah berkenalan dan dinikahi oleh Martopo.

 

“Sudahlah. Jaman krisis seperti sekarang, mencari pekerjaan juga sulit. Semua jabatan nyaman diisi oleh orang Belanda. Lagi pula, aku tak punya kemahiran dalam berdagang. Pinjaman modal berdagang dari Abah mu, selalu gagal kita kembangkan. Biar saja, yang penting keluarga kita masih bisa makan.” Martopo coba menenangkan istrinya.

 

Martopo menjadi salah satu potret sarjana lulusan Belanda, yang tak jarang hanya diperalat oleh Pemerintah Kolonial saat kembali ke tanah airnya.

***

Benteng Kedung Cowek gagal dibangun sebagaimana cetak biru yang direncanakan, karena Belanda juga tengah dilanda krisis.

 

Timbul desas-desus bahwa anggaran pembangunan benteng dikorupsi oleh para ambtenaar, namun kesalahan dilimpahkan pada Martopo sebagai mandor yang tidak becus mengelola pekerjaan! Mudah saja, karena ia seorang bumi putera yang terlalu mudah untuk dibodohi.

 

Martopo akhirnya menjadi buruan dan hidup berpindah-pindah.

 

“Lebih baik sekarang kita pulang saja ke Sumatera. Dari pada di Surabaya terus menjadi buronan. Mungkin kita bisa memulai usaha dagang di sana. Perut ku juga sudah mulai membuncit. Bulan depan kemungkinan anak kita lahir Mas. Kau tentu tak mau ‘kan, bayi kita ikut menderita dan merasakan ketakutan terror dikejar-kejar orang ?” keluh Aminah.

 

Martopo hanya terdiam mendengarkan keluhan istrinya…

 

Hatinya masih berkecamuk dan logika sehatnya coba menyangkal seluruh tuduhan yang dialamatkan padanya, hingga menjadikannya buruan pemerintah.

 

Di bawah temaram lampu minyak di sebuah gubuk, mereka kemudian memutuskan…

“Baiklah, besok kita berangkat. Siapa tahu rejeki untuk anak kita ada di Sumatera” , Martopo menjawab dengan penuh keyakinan, esok masih ada matahari terbit baginya dan keluarganya.

***

Surabaya 1 Desember 1920. Fajar terbit tepat pada saat jarum jam tangan Martopo menunjukkan pukul lima pagi. Suasana Pelabuhan masih sangat sepi. Berbekal cara penyamaran yang ia dapatkan semasa bekerja di jawatan militer, Martopo bergerak menuju Tanjung Perak dengan wujud yang baru.

 

Ia memakai kumis tiruan, rambutnya dipotong habis. Dengan berdandan ala saudagar Sumatera, Martopo mencoba mengelabuhi petugas Pelabuhan.

 

“Kau naik saja dulu. Nanti kita bertemu jika kapal sudah sandar di Batavia. Selama di sini, kita harus menjaga jarak agar tak mencurigakan. Ini demi keamanan’mu dan bayi kita”, perintah Martopo pada Aminah.

 

“Jaga dirimu baik-baik Mas”, ucap Aminah.

Perempuan Sumatera ini sudah terbiasa melalui kerasnya hidup. Baginya, sekeras apapun hidup musti tetap dijalani.

 

Di ujung dermaga, suara meleking menusuk rongga telinga para penumpang. Bunyi itu berasal dari benda diujung mulut seorang petugas pelabuhan. Dengan kulit hitam legam dan celana parlente dipadu kemeja putih yang terlihat kontras dengan warna kulitnya, ia meniup sebuah peluit dengan hembusan nafas dari perut gendutnya.

 

Tanda kapal Dolfijnen akan segera diberangkatkan.

 

Martopo masih tetap berdiri di ujung tangga. Perasaanya masih berkecamuk. Haruskah ia meninggalkan tanah kelahirannya untuk kesekian kalinya? Juga Benteng Kedung Cowek yang sebenarnya ia sendiri yang merancang cetak biru yang disetujui Komandannya, namun juga menjadi petaka yang membuatnya dipersalahkan.

 

Di tengah lamunannya, tiba-tiba dua orang mendekap lengan Martopo dari belakang. Ia diseret dengan keji di tengah pagi yang mulai riuh di Tanjung Perak…

 

Vluchteling…!!! Waar ge je heen te lopen..? (Hey Buronan, mau lari kemana kau)” teriak seorang polisi militer yang berhasil menangkap Martopo.

 

Ir.Martopo Diprodjo diseret dan digebugi bagai seorang copet yang tertangkap di tengah keramaian massa.

 

Aminah yang sudah duduk manis di dalam kapal Dolfijnen. Tidak tau akan hal ini. Hanya firasatnya berkata, bahwa suaminya sudah berada aman di dalam kapal.

 

Jangkar telah ditarik kembali dan kapal besar itu bergerak perlahan.

 

Namun, keriuhan di luar akhirnya mengusik perasaan Aminah. Ia mulai panik, Martopo tak kunjung datang. Aminah bergegas berlari menuju jendela, memastikan petaka itu tidak menyangkut suaminya.

 

Namun Na’as..

 

Ia melihat suaminya diseret oleh dua orang Polisi Militer.

“Massssss Martopoooooooooo”

teriakan pecah disusul isak tangis Aminah yang ditinggal seorang diri menuju Belawan.

 

Pupus sudah mimpi untuk melanjutkan rumah tangga yang bahagia di tanah Sumatera.

***

Kisah tentang Ir.Martopo Diprodjo telah mewarnai mimpi-mimpi malam Suryo.

Terlalu dini bila mengatakan Suryo lahir sebagai anak Yatim.

 

Nyatanya kabar tentang Martopo sudah tak lagi terdengar di telinga Aminah. Malam-malam Aminah dipenuhi oleh rasa rindu pada Martopo dan malam-malam Suryo dibuat penasaran dengan wujud fisik Bapaknya.

 

 

“Kau kami beri nama Suryo Diprodjo. Bapak mu sendiri yang memilihkan nama. Agar kelak kau mampu menjadi Matahari yang memberi kehangatan pada semesta”, ucapan Aminah ini terngiang kembali di telinga Suryo.

 

Dari tutur Aminah yang mengantar Suryo menuju peraduan dengan memeluk erat guling kapuk lusuh berwarna hijau tua, ia mendapati kisah bahwa Bapaknya adalah seorang Arsitek yang ikut merancang sebuah Benteng di ujung kota Surabaya, namun hanya diberi peran fungsional sebagai mandor karena sifat serakah orang Belanda pada jabatan.

***

“…kembalikan aku ke Kedung Cowek…!!! biar raga ku hancur lebur..jadi makanan peluru tentara Inggris..biarkan..Biar saja jasad ku menyatu dengan tanah dan lautan..di Benteng ini..Benteng yang dibangun oleh Bapak’ku..di tanah ini, tanah tumpah darah ku….”, sebuah kalimat terakhir yang diucap Suryo sebelum kelopak matanya menutup dan tak pernah terbuka kembali…

 

Sore itu pertempuran reda dan Matahari tenggelam di Benteng Kedung Cowek..Mata Suryo terpejam untuk selamanya..bersama mimpi dan harapan Bapaknya..Ir.Martopo Diprodjo..

 

(*sebuah fiksi sejarah)

PS : Bahwa Kedungcowek dibangun tidak sesuai cetak biru adalah sesuai fakta berdasarkan temuan tim Roodebrug di arsip nasional Den Haag, Belanda

About Ady Setyawan

Ady Setyawan, penulis dan penghobi sejarah terutama era perang kemerdekaan. Buku yang pernah diterbitkan berjudul : Benteng Benteng Surabaya ( 2015) , Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? ( 2018 ) dan Kronik Pertempuran Surabaya ( 2020 )

Check Also

Insiden Kekerasan Imlek di Surabaya Tahun 1912

Tahukah anda bahwa perayaan Imlek tahun 1912 di Surabaya berubah menjadi sebuah panggung pertikaian sengit …