“Cuilan Bayonet Itu Kembali”
Keterangan Gambar : Bayonet Arisaka Jepang berlogo Kokura Arsenal dalam kondisi patah. Koleksi Ady Setyawan / Roodebrug Soerabaia ( beberapa koleksi Roodebrug Soerabaia akan dipamerkan di Museum 10 Nov Surabaya tanggal 25-29 Agustus 2017 )
Di suatu sore dalam perjalanan dari Malang ke Surabaya, saya berhenti di depan Pasar Lawang untuk beristirahat sambil makan bakso. Di samping saya ada seorang bapak yang sudah sepuh. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah memutih semua. Kerut kemerut membayang jelas di wajahnya. Dalam pandangan saya, penampilan lelaki ini sangat menarik. Saya perhatikan dirinya dari ujung rambut hingga ke mata kaki. Dia sudah setua itu namun sama sekali tidak kelihatan rapuh.
“Dari tadi Anda kok memperhatikan saya terus. Ada apa?”, tanyanya lembut tapi penuh wibawa. Saya jadi serba salah tingkah.
Dengan tergagap-gagap saya jelaskan identitas saya, bahwa saya adalah salah seorang crew-nya Pak Dukut yang sedang menggarap buku Malang Tempo Doeloe. Agaknya beliau cukup mengenal Pak Dukut lewat buku Soerabaia Tempo Doeloe.
“Saya sebenarnya juga mempunyai kisah yang menarik. Namun saya tidak memiliki kemampuan untuk menulis. Anak dan cucu sayapun enggan untuk memenuhi permintaan saya, buat menuliskan sejarah hidup saya. Maaf, barangkali Anda berminat?”.
Saya sempat terperangah. Seharian saya keliling Kota Malang, dan tak secuilpun kisah yang saya peroleh. Tahu-tahu di samping saya ada orang tua yang mau bertutur tentang sejarah hidupnya. Saya yakin bahwa lelaki tua ini bukanlah orang sembarangan. Gaya bicaranya santun dan beliau memiliki kharisma yang tak ada duanya. Ada yang menonjol dalam wajahnya. Sorot matanya yang tajam itu, yang membuat saya tak kuat beradu pandang dengannya.
“Monggo Pak”, kata saya seraya menyodorkan tape recorder kecil untuk merekam segala penuturannya. Sementara itu sayapun menulis beberapa catatan penting dalam note book. Yang menarik, Pak Tua ini meminta agar kisahnya ditulis dengan gaya “aku”. Saya pun menyetujuinya.
Dan inilah kisahnya…..
Aku, Djoepri Darsono. Sudah tua umurku untuk ukuran orang Indonesia. Masa mudaku habis untuk bertempur di front perjuangan republik ini. Begitu banyak medan pertempuran aku alami, terutama didaerah Malang dan Jawa Timur. Kata orang-orang sekarang, aku adalah pejuang, aku adalah pahlawan kusuma bangsa. Semua orang menghormatiku. Buktinya, hampir tiap malam 17 Agustusan aku selalu didaulat untuk berpidato tentang jaman perang kemerdekaan, berkisah tentang bagaimana aku dan teman-temanku bertempur, bagaimana kami menyergap patroli Belanda dan bagaimana sahabat – sahabatku gugur membela kedaulatan negeri ini.
Aku sendiri tidak tahu, apa mereka yang mendengarkan cerita – cerita itu tidak merasa bosan, ataukah mereka mendengarkan hanya menghormati stempel pahlawan yang menempel terus di jidatku. Sebagaimana pemuda-pemuda Indonesia saat itu, aku berjuang mengadu nyawa hanya karena tidak ingin negeri ini dikangkangi oleh kaum imperialis, aku hanya ingin mengusir penjajah. Kami, pemuda-pemuda Indonesia kala itu adalah sekumpulan jiwa muda bernyali besar, bernyawa rangkap dan bagi kami, lebih baik mati berdiri daripada hidup terus sambil berlutut dihadapan penjajah!
Nah, sekarang aku akan berkisah kepada kalian tentang sebuah bayonet ……
Akhir 1946, bayonet pertamaku:
Aku berasal dari Sumberwaras, sebuah desa kecil di Lawang, dekat Malang.
Usiaku masih belasan tahun waktu itu, usia dimana masa puber sedang hangat-hangatnya. Tidak seperti kebanyakan remaja sekarang yang sudah mulai mengenal percintaan, di usia itu aku sudah mengenal granat, trek bom, bayonet dan pertempuran yang menjadi keseharianku.
Bersama dua sahabat masa kecilku, Hermanoe, anak seorang pedagang di pasar Lawang dan Marsoedi, anak seorang Jogoboyo di desaku, kami bergabung dengan Tentara Genie Pelajar. Niat kami hanya untuk berjuang dan berjuang. Disana kami bertemu dengan pemuda-pemuda yang sejalan dengan niat dan pikiran kami bertiga.
Sungguh, kami adalah sebuah pasukan yang dinamis, muda dan tidak sabar untuk menunggu perintah bertempur. Kami bermarkas di sebuah rumah di Jalan Ringgit, Malang, tiap anggota mendapat jatah persenjataan yang sama, lebih banyak hasil rampasan dan bikinan sendiri, termasuk sebuah senjata laras panjang dengan bayonet (sangkur) di ujungnya. Sebuah bayonet, bayonet pertamaku…….
Aku merasa takjub dengan bayonet pertamaku itu. Ada getaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, membuat aku semakin tidak sabar untuk bertarung, yah…bukan hanya tidak sabar untuk berlatih menggunakan bayonet itu, namun tidak sabar untuk segera menusukkan pisaunya ke tubuh musuh dan merenggut nyawanya…
“Sluiten, Mars!!” terdengar teriakan aba – aba pelatih kami, Sersan Jacobus, seorang Ambon ex tentara KNIL yang sekarang menjadi pelatih dan membela republik.
Tergopoh-gopoh pasukan kami berkumpul dan berbaris, pandangan kami lurus kedepan, selurus niat kami membela tanah air. Tidak ada celoteh yang sejak tadi terdengar riuh di barak kami. Muka keras Sersan Jacobus cukup membuat disiplin kami terpompa.
“Draaghouding!!, Gevechtshouding !!!” berturut – turut Sersan Jacobus mengkomando untuk pasukan agar mengambil sikap membawa dan sikap siap bertempur.
Inilah latihan perang jarak pendek dengan bayonet yang kami tunggu setelah bosan hanya “melawan” boneka jerami dan boneka dengan pareerstok (tongkat penangkis).
Kami melahap porsi-porsi latihan Lange Steek, Korte Steek, Weert Rechts dan Weert Links dengan penuh kesungguhan. Kepala kami saat itu penuh dengan imajinasi-imajinasi, seperti apakah pertempuran yang akan kami hadapi, seperti apakah postur musuh kami dan… siapakah yang akan gugur dalam pertempuran jarak pendek dengan bayonet. Imajinasi itu makin memperkuat kesungguhan kami dalam berlatih dan mematuhi perintah Sersan Jacobus. Menusuk dan memuntir bayonet ketubuh lawan berulang-ulang.
Medio 1947, Clash I:
Patroli pasukan Marine Belanda melintas angkuh disebuah jalan menuju kota Malang. Pasukan kami telah menanti di sekitar sebuah jembatan yang cukup strategis untuk berlindung dan melakukan penyergapan. Laporan Djoemartono, telik sandi kami, rupanya cukup akurat, pasukan Marine Belanda itu tidak terlalu super untuk dihantam, dan perlindungan kami cukup aman. Aku rasa kami mampu melumpuhkan mereka, dalam berapa lama ? Itu yang aku tidak berani berjudi dengan perkiraanku, kami masih anak kemarin sore, pengalaman tempur kami masih nol besar.
Sebuah ranjau darat dan trek bom meledak didepan tank Belanda yang memimpin membuka jalan bagi patroli itu, membuat kocar-kacir barisan patroli, disusul sebuah granat yang dilempar oleh Hermanoe, yang melumpuhkan tank itu. Ledakan dua granat itu adalah tanda bahwa anggota pasukan kami harus memulai menembak. Peluru berdesingan dari segala penjuru, patroli Belanda juga membalas dengan tembakan panjang dan mitraliurnya. Korban satu – satu mulai berjatuhan, baik dari pihak musuh maupun dari pasukan kami.
Tiba – tiba kudengar teriakan Marsoedi, sahabatku. Dadanya tertembak, koyak oleh peluru, darah berhamburan. Kuhampiri dia dan kubawa ke tempat perlindunganku yang agak jauh dari medan pertempuran. Di antara desah nafasnya yang tersengal-sengal, dia berkata:
“Hermanoe…….Hermanoe…..kena…..”
Rupanya, Hermanoe sahabatku, telah lebih dulu gugur. Kurenggut bayonet yang masih digenggam Marsoedi, kulonggarkan sabuknya agar ia bisa bernafas lebih lega.
“Pri…. Sungkemku untuk …Bapak dan …Emak…”
Aku hanya bisa memandang matanya yang nanar. Lalu kosong. Marsoedi gugur, menyusul Hermanoe, dua sahabat masa kecilku gugur. Aku harus selamat dari pertempuran ini agar dapat mengisahkan kegagahan Marsoedi dan Hermanoe kepada orang tua mereka.
Darahku menggelegak, dendamku makin memuncak. Aku kembali ke pertempuran. Kesetanan, sepertinya nyawa Hermanoe dan Marsoedi merasuk dalam jiwaku, ingin menuntut balas kematian mereka yang masih muda.
Hari itu, 21 Juli 1947 adalah hari pertempuran pertama kami, sepertinya nyawa dua sahabatku masih ingin merasakan heroiknya pertempuran demi pertempuran yang akan kami hadapi nanti.
Tiba – tiba kulihat seorang prajurit Belanda berlari kearah perlindunganku, darahku terkesiap, inilah saatnya kutuntut balas kematian dua temanku secara jantan. Satu lawan satu. Dibalik pokok pohon trembesi aku sembunyi, derap lars-nya makin dekat, kujegal langkahnya dengan sebuah terkaman. Mata birunya beradu dengan mataku yang makin merah penuh dendam, usianya tampak sebaya denganku. Pertarungan ini begitu dekat, entah mengapa diantara kami tidak ada yang melepas tembakan, gengsi kejantanan dan amarah masa muda yang terbakar….
Bayonet mulai berbicara, tusukan, tolakan dan bacokan adalah bahasanya, bahasa kengerian ternyata sangat universal. Membunuh atau terbunuh!
Serdadu Belanda itu mulai terdesak, aku makin kesetanan, aturan-aturan cara bertarung bayonet yang kudapat dari Sersan Jacobus tidak berfungsi. Ini adalah pertarungan jalanan tanpa aturan ! Bayonetku seperti bernyawa dan haus darah. Saat Belanda itu lengah kutusukkan bayonetku ke lengan kirinya, sangat kuat hingga aku dapat merasakan bunyi “klak”, pisau bayonetku patah ujungnya beradu dengan tulang lengan Belanda itu. Ia jatuh, bayonetnya terlepas. Saat itu pula ujung bayonetku telah berpindah ke lehernya. Mata kami beradu. Hanya sekali tusukan akan mengantarnya ke neraka…
Medio 1997, cuilan bayonet itu kembali:
Bayonetku yang cuil ujungnya,yang menjadi saksi pertempuran hebat masa lalu, kini tersimpan di sudut lemariku. Bayonet itu sudah tenang sekarang, tugasnya telah usai.
Sore itu 21 Juli 1997, aku berjalan-jalan bersama Yunita, cucuku, mengenang hari pertempuran pertamaku. Sambil berjalan beriringan, kutapaki lagi area pertempuran. Kembali terngiang desing peluru, sorot mata Marsoedi dan jerit kematian teman-temanku yang memanggil nama ibu, orang tua dan yang terkasih di ujung kematian mereka, terdengar miris memilukan.
Bayonetku seperti tergenggam kembali dalam tanganku…….
Tersadar dari kilasan masa silam, kulihat seorang lelaki kulit putih, sepertinya setua aku. Lengan kirinya tidak ada. Berjalan tertatih dengan memakai tongkat di tangan kanan yang membantunya tegak berdiri. Disampingnya seorang wanita kulit putih, mungkin istrinya, memapah lelaki itu. Kudekati mereka. Dari logat bahasanya aku yakin mereka orang Belanda.
“Selamat sore, jarang sekali saya melihat wisatawan berkunjung kesini. Padahal masih ada tempat yang lebih indah di kota Malang ini”, sapaku dalam bahasa Belanda yang fasih.
“Oh, saya hanya ingin berjalan-jalan dan mengembalikan sesuatu yang terbawa ke negara saya”, ujar lelaki itu.
“Djoepri Darsono, ini Yunita, cucu saya”, aku berinisiatif memperkenalkan diri.
“Karel Van den Brook, ini Julia, istri saya”
Sambil menerawang Karel bercerita…
“Disini, lima puluh tahun yang lalu, saya pernah bertempur melawan pemuda – pemuda Indonesia. Kekuatan kami berimbang, sampai saya kehabisan peluru dan harus berlindung untuk mengisi peluru. Ketika berlindung, saya ternyata harus bertarung bayonet dengan seorang pemuda berani. Pertarungan kami sangat gentleman dan sama kuat sampai pemuda itu menusukkan bayonetnya ke lengan kiriku….”
Karel menghentikan ceritanya…sepertinya Karel hadir kembali dalam pertarungan itu.
“Tusukan itu sangat kuat sampai lengan kiriku lumpuh….”
“Lalu apa yang terjadi ?”, kataku
“Mata kami bertatapan. Sungguh, aku tidak dapat melupakan sorot mata itu. Sepasang mata setan pencabut nyawa!”
“Lalu?”, berdebar aku menunggu ceritanya…
“Tiap detik sangatlah lama…. Anehnya mata setan itu seperti memancarkan rasa persahabatan, tidak lagi beringas, lalu setan itu berlari kembali kepasukannya. Aku jatuh tak sadarkan diri”
Dadaku bergetar, airmata menggenang di mataku…..
“Aku selamat dari pertempuran itu, namun aku harus kehilangan lengan kiriku. Sebuah cuilan bayonet merusak otot-otot lengan, sehingga lenganku membusuk. Cuilan itu berhasil dikeluarkan ketika aku dirawat di rumah sakit di negeri Belanda”
Kami terdiam, keheningan terasa mewarnai tempat ini. Sampai akhirnya dialah yang memecahkan keheningan itu sendiri:
“Maaf Tuan Darsono, apakah cerita ini terlalu mengerikan untukmu ?”
“Apa yang akan Tuan lakukan sekarang ? Apa Tuan mendendam kepada penusukmu ?”, kataku setelah menghela nafas panjang.
“Aku hanya ingin mengembalikan cuilan bayonet itu kesini, telah kutunggu saat ini selama limapuluh tahun…dan sudah lama kumaafkan pemuda itu”
Aku tidak mampu berkata-kata lagi, kupeluk lelaki Belanda tua itu.
“Karel, akulah setan itu”
Air mata kami deras……
Hati kami berbicara…
*Sebuah cerpen fiksi sejarah karya Yudo Syaf