Kekerasan di Hindia Belanda Terjadi Secara Struktural
NRC 15 Agustus 2015 oleh Anne Lot HoekKekerasan berlebihan oleh tentara Belanda pada 1945-1950 adalah sebuah pengecualian adalah pernyataan resmi selama bertahun-tahun. Namun saat ini para sejarawan yang melakukan penelitian berdasarkan arsip-arsip resmi dan mengumpulkan kesaksian para korban aksi kekerasan. Mereka yang pertamakali menyebutkan bahwa kekerasan terhadap rakyat Indonesia bukanlah sebuah pengecualian, namun terjadi secara struktural.
Sebuah minggu pagi ditahun 1948 , sebuah truk pengangkut pasukan mendapat serangan tembakan dalam perjalanannya menuju gereja di Jawa. Seorang prajurit tertembak tepat mengenai kepalanya. Apa yang terjadi selanjutnya digambarkan dengan jelas oleh Louis Sinner, salah seorang prajurit yang juga berada didalam truk tersebut. Penjelasan ini tersimpan dalam Nationaal Archieve, “Komandan kami, Mayor van de Leede mengambil sebuah peta dan kompas, mulai menggambar dan memasukkan koordinat titik penembakan. Dia menggambarkan sebuah lingkaran dan tiga kompi pasukan diperintahkan masuk kedalamnya. Area itu akan dijadikan Soddom dan Gomorah, apa yang terjadi selanjutnya sungguh lebih mengerikan dari tragedi Putten ( tragedi Putten adalah tragedi yang sangat serupa dengan pembantaian Rawagede, dimana pasukan Jerman membantai warga sipil Belanda).
Ini adalah satu dari sekian banyak kasus yang diteliti oleh Remy Limpach , sejarawan berdarah Swiss –Belanda dalam penelitian untuk gelar doktornya yang bertema aksi militer Belanda di Indonesia tahun 1945-1950. Bahwa perpisahan terhadap “Hindia kami” adalah masa-masa yang penuh dengan kekerasan bukanlah hal yang baru. Sebagai sejarawan hukum, Cees Fasseur membuat sebuah buku pada 1969 berjudul “Excessen Nota” berisi kumpulan kejahatan perang di Indonesia. Dia membuat buku ini dalam keadaan tergesa karena diburu-buru oleh Pemerintah Belanda dan hanya melakukan penelitian dari arsip-arsip yang ada.
Hanya berjarak setahun kemudian, sosiolog Van Doorn dan Hendrix mengatakan bahwa 110 kasus dalam Excessen Nota hanyalah pucuk kecil dari sebuah gunung es. Sejak beberapa tahun terakhir ini, media kita dibanjiri foto-foto, kesaksian mengerikan dan dokumen arsip yang mengacu pada kekerasan militer, seperti foto-foto eksekusi yang dimuat di Volkskrant pada tahun 2012 yang cukup menghebohkan.
![]() |
Tentara Belanda menangkap pejuang Indonesia di Driyorejo, Jawa Timur, 5 Agustus 1946 |
![]() |
Rumah sakit ( tanpa tanggal dan keterangan ) |
![]() |
Marines during the first Police Action,
photo exhibition ‘On War’ in Museum Bronbeek and photo press agency / gallery Antara in Jakarta. |
Meskipun dengan semua publikasi dalam media begitu ramai, namun pertanyaan kunci tidak pernah tersentuh: “seberapa terstruktur kekerasan militer di Indonesia ?” , “ apakah betul ini sebuah tindakan pengecualian atau ada sebuah sistem yang terbentuk dibelakangnya untuk mendukung terjadinya kekerasan-kekerasan ini?”.
Limpach adalah sejarawan pertama yang melakukan penelitian dan analisa bersumber dari catatan pemerintah , buku harian dan surat-surat pribadi prajurit. Limpach terhubung dengan NIMD ( Ned Indie Military History ), institusi riset Departemen Pertahanan di Den Haag. Bulan depan dia akan mendapatkan gelar Phd di Universitas Bern, namun kesimpulan utama dari thesis yang dia buat telah dipublikasikan dalam kumpulan artikel ilmiah “Kolonial, Penumpasan dan Kekerasan Massa, Kerajaan Belanda di Indonesia”. Kesimpulannya sangat jelas : Tentara Belanda terbunuh, Indonesia disalahkan, orang-orang tak bersenjata, rutin dan berskala besar,terjadi diluar konteks pertempuran langsung.
Pada awalnya Limpach menghilangkan terminologi yang selama bertahun-tahun menyamarkan kita pada realitas. Istilah “excess” itu seakan-akan sebuah aksi pelanggaran, kata itu dipilih untuk menghilangkan kesan bahwa kekerasan ini terjadi secara sistematis dan tidak dalam skala besar selain untuk menghindari sensitivitas kata kejahatan perang seperti aksi Jerman, ujar Limpach. Namun kekerasan ekstrim apapun tidak mengenal pengecualian, karena itulah dia memperkenalkan istilah dalam penelitiannya : “Kekerasan Terstruktural”.
Mengkhianati Kawan
Contoh dari surat pribadi veteran Sinner dan juga aksi Jerman di desa Putten dimana hampir 700 orang dan anak laki-laki dibawa pergi, 500 diantaranya meninggal di Kamp adalah sebuah tindakan kesewenangan. Meskipun tidak semua veteran berhubungan langsung dengan aksi kekerasan militer,namun hal ini adalah hal yang cukup sensitif di Belanda. Apalagi membandingkan dengan aksi Jerman, namun lucunya tentara Belanda sendiri sering mengungkapkan kesamaan ini tutur Limpach. Sebagai contoh surat seorang prajurit yang dikirim kepada istrinya di Belanda : “ada intelijen disini yang menangkapi penduduk karena dituduh mata-mata atau terlibat kegiatan perlawanan, mereka dipaksa mengkhianati kawan-kawannya, seperti dinegara kita dulu saat pendudukan Jerman”
Tak pernah ada sejarawan sebelumnya yang menyebutkan bahwa kekerasan ekstrim ini terstruktur. Publikasi tentang sebuah aksi “excess” masih dapat dihitung dan disisi lain lebih fokus pada penyebab kekerasan. Ada juga buku dari Willem Ijzereef : “The South Sulawesi Affair 1986 and Suffer of War” , buku dari sejarawan Steff Scagliola tahun 2002 :”The Dutch War Crimes in Indonesia and its Process” , Pada tahun 1988 Lou de Jong membangkitkan amarah para veteran perang karena menggunakan istilah “war crime / penjahat perang” dalam “The Kingdom of Netherland” yang kemudian akhirnya dia hapus.
Kata “excess” selalu digunakan untuk menunjukkan bahwa kekerasan tersebut bukanlah sesuatu yang rutin dilakukan.
Limpach adalah orang pertama yang memberi deskripsi detail tentang apa itu kekerasan berlebih. Dia juga menilik siapa lawan dari para prajurit tersebut untuk menilai tingkat sebuah kekerasan. Limpach meyakini ada ribuan kasus kekerasan, beberapa kasus yang dia temukan dalam Nationaal Archieve namun tidak disebutkan dalam Excessen Nota. Sebagai contoh : kasus perkosaan massal di Bali yang pernah dimuat sebelumnya dalam koran ini.
Walaupun permasalahan yang dia teliti banyak ditemukan dalam catatan pribadi dan tidak berasal dari data arsip pemerintah, dia juga menggunakan arsip pengadilan Militer dari Van Rij dan Stam, mereka berdua yang ditugasi pemerintah Belanda pada 1949 untuk melakukan investigasi atas kekerasan terhadap rakyat Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.
Sepeda Curian
Tidak banyak orang tahu bahwa sesungguhnya Van Rij dan Stam juga melakukan investigasi dan pengumpulan data atas 20 kasus kekerasan lainnya, diantaranya kasus kekerasan mengerikan di Bandara Tjililitan. Ditempat ini antara tahun 1946-1948 setidaknya 20 orang Indonesia yang dicurigai , dieksekusi dan dilemparkan kedalam sumur atas perintah dari Henri Schriver, seorang sersan KNIL yang oleh atasannya diberi kebebasan untuk melakukan hal itu.
Kasus ini naik kepermukaan tanpa disengaja, seorang ayah dari tawanan melihat seorang tentara Belanda menaiki sepeda milik anaknya dan melapor. “Ini hanya satu dari sekian banyak kasus serupa dari kasus-kasus yang tidak dilaporkan” tulis Van Rij dan Stam dalam laporannya.
Menariknya ada banyak kasus yang terjadi justru karena terinspirasi dari aksi Westerling. Contohnya kasus di Malang , Jawa Timur pada 2 dan 5 Maret 1949. Kolonel H.J Kronig dari Land Army memerintahkan Letnan Kolonel A.F.L Maris dari KNIL untuk mengambil beberapa tawanan dari penjara Lowokwaru Malang. 16 tawanan ditembak mati dengan alasan sebagai efek jera.
Kasus ini bisa terangkat karena seorang ayah yang melaporkan kehilangan anaknya dalam tahanan Lowokwaru dan juga pengakuan para tahanan kepada Palang Merah Internasional bahwa kawan-kawan mereka telah hilang dan kasus penyiksaan diluar batas. Kasus ini akhirnya berlanjut ke Mahkamah Militer. Tim patroli bersaksi bahwa mereka melakukan penembakan karena memergoki tawanan yang hendak melarikan diri. Namun kesaksian ini langsung dipatahkan karena mayat-mayat tawanan yang ditemukan dalam keadaan terborgol. Tim pengadilan militer mendapatkan surat “kami harap anda tidak membawakan kesulitan pada komandan kami”. Disaat yang sama seorang KNIL Ambon yang merasa bersalah atas tindakan tersebut melakukan aksi bunuh diri yang akhirnya membuat Kronig dan Maris mengakui semua perbuatannya.
Studi-studi Sebelumnya Dipenuhi Kiasan, Kekerasan Belum Memiliki Tempat
Limpach mencatat bahwa bukan hanya kekerasan dan pembunuhan atas tawanan yang terstruktural, tapi juga kegagalan dari hukum yang diberlakukan menjerat pelaku. Sama seperti Westerling yang tidak pernah mendapatkan hukuman, demikian juga Kronig dan Maris bahkan hingga akhir tahun 1949 mereka masih berusaha menekan fakta yang terjadi dengan dalih tindakan mereka adalah darurat militer. Pihak berwenang pun menyembunyikan kasus pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, semuanya dibawah karpet dan ini semua berjalan begitu sistematis sesuai dengan pendapat Limpach.
Budaya Pelanggaran Hukum
Limpach selalu menyebutkan detil nama adalah sesuatu yang baru. Sebelumnya pada Excessen Nota maupun data dari Van Doorn dan Hendrix tanpa dilengkapi nama. Kekerasan belum memiliki tempat dan tak ada referensi untuk sebuah tanggungjawab. Limpach menunjuk beberapa kasus yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Dalam kasus pembantaian Sulawesi Selatan, dia mengatakan lebih jelas dari Ijzeref bahwa penanggung jawab sebenarnya adalah jaksa Agung Hendrik Willem Felderhof yang namanya tidak banyak dikenal publik, dialah petinggi peradilan Belanda di Jakarta yang melegitimasi kekerasan struktural yang mengakibatkan ribuan penduduk Indonesia tak bersenjata tewas. Sama seperti kejadian di Rawagede pada 1947.
Menurut Limpach, fakta dalam masa kolonialisasi di Indonesia adalah timbulnya budaya melanggar hukum, dimana mereka bisa menjadi hakim atas kasus mereka sendiri, semua ini dapat ditelusuri kembali ke belakang dan bersimpul pada tanggungjawab pejabat tinggi seperti Felderhof dan Jenderal Spoor selaku komandan militer.
Ini adalah langkah penting dalam sebuah wacana diskusi sosial dimana hingga sejauh ini pihak yang bertanggungjawab belum juga ditunjuk dengan jelas. Dituliskan dalam excessen nota bahwa prajurit berpangkat rendah yang selalu bertanggungjawab melakukan aksi kekerasan. Namun Limpach menyimpulkan hal lain : “penyebab sesungguhnya dari bermacam masalah kekerasan adalah berasal dari tubuh struktur itu sendiri yang telah mengakar” .
Seperti yang tertulis dalam excessen nota, semua ini dirancang agar mengarah pada penyebabnya tak lain adanya teror dari pihak Indonesia. Kekerasan aksi Westerling di Sulawesi Selatan dituliskan perlunya ada “counter terror” melawan kekerasan Indonesia. Limpach menyebutkan bahwa istilah ini cukup menyesatkan, “ini artinya menyembunyikan fakta bahwa tentara Belanda menyiksa dan membunuhi orang-orang Indonesia secara rutin”.
Mengutuk Musuh
Motivasi apa yang sesungguhnya membuat prajurit berbuat kekejaman dijelaskan oleh Scagliola pada 2002 ( Erasmus University ) dalam Last Van de Oorlog / Penderitaan Perang. Dia menyatakan diri sebagai orang pertama yang menggunakan kesaksian veteran sebagai bahan penelitian. Dia menyebutkan salah satu faktor untuk berbuat kekerasan kepada musuh adalah melakukan demonisasi terhadap musuh dengan istilah propaganda seperti “teroris” , tetapi juga rasa takut dan juga kekurangan pengalaman perang, juga perasaan gembira karena akan menggunakan kekuatan militer. Bagi prajurit KNIL, trauma selama masa pendudukan Jepang juga berperan, juga ketika masa periode bersiap ketika Indonesia menolak kehadiran kembali Belanda dan membunuhi orang-orang Indo Belanda, keturunan cina dan Belanda.
Limpach menambahkan salah satu penyebabnya adalah rasisme, sesuatu yang sangat jarang disebutkan oleh sejarawan. “seperti sistem masyarakat kolonial pada umumnya, mereka menciptakan kelas-kelas hierarki. Hal ini berdampak sangat besar ketika tentara Belanda kembali ingin memasuki Indonesia”
Scagliola mengatakan “hingga tahun 2002 saya tidak memiliki perhatian atas hal ini, saya masih mengikuti garis sejarawan dan pada tahun yang sama Professor Henk Schulte menuliskan secara eksplisit tentang kekerasan kolonialisme.
Tradisi Radikal
67 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 2012, tiga institusi sejarah termasuk Limpach dan NIMH untuk pertamakalinya mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk dilakukannya penelitian perang kemerdekaan Indonesia berskala besar. Permohonan ini ditolak. “ Kini Bern University Swiss yang membantu kita dalam pandangan baru ini “ . Scagliola : “ di Belanda sangat jarang intelektual yang radikal, sejarawan terlalu berhati-hati “ .
Jadi apakah kini sudah jelas dengan apa yang terjadi di Indonesia? . Scagliola : “belum, begitu banyak hal yang kami masih belum tahu, bagaimana keterkaitan antar semua kekerasan itu”.
Tapi bagaimanapun karya Limpach mengisi lubang hitam yang cukup besar. Meskipan tidak adanya landasan faktual yang memberikan dukungan pada sejarah , diantara banyaknya temuan jurnalis yang berakhir diruang hampa. Hanya terjadi kemarahan moral dan keributan pada awalnya untuk kemudian dilupakan. Jika ilmu pengetahuan dan penelitian faktual yang ditemukan dilapangan memang mengarah pada pengakuan adanya kejahatan kemanusiaan disana, kita sepertinya harus tetap menanti. Namun penelitian Limpach nampaknya adalah sebuah langkah yang penting.
EXCESSEN NOTA
Mengapa tidak ada kelanjutan penelitian atas Excessen Nota (1969) ? De Jong menginstruksikan kepada Komisi Nasional Historiografi untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Tapi komite menolak, mereka hanya mau sumber dari arsip yang telah mereka pilih ( surat dan dokumen) dari periode 1945-1950. Jadi tanpa historiografi.
Sejarawan Cess Fasseur penulis dari excessen nota mengatakan “sejarah yang objektif” membutuhkan tim sejarawan termasuk sejarawan “sisi kiri” dari pengetahuanera kolonialisme.
“Apakah komisi pemerintah menginginkan fakta ilmu pengetahuan sejarah yang lebih baik?” Fasseur menyebutkan upaya dari para sejarawan adalah sebuah jalan buntu. “Sebuah penelitian yang berujung pada pengakuan politik , adanya kejahatan perang hanya sebatas mimpi untuk saat ini”.
Dalam karirnya sebagai Profesor di Leiden University (1986-2001) , Fasseur tidak banyak tertarik dengan pembahasan “excesses” . “Semua orang tahu bahwa tidak ada perang yang benar-benar bersih dan kedua belah pihak melakukan kekerasan, dia mengatakan bahwa pada 1969 kekerasan ini tidak bisa dikatakan sebagai kekerasan yang terstruktural, secara politis itu mustahil dikatakan. Ketika itu ada 100.000 veteran yang melakukan tugas mereka sebagai patriot. Kami harus bisa menahan kata itu dalam pikiran kami.