Home / Article / Insiden Pembantaian Belanda dan Penemuan Kuburan Massal Nganjuk

Insiden Pembantaian Belanda dan Penemuan Kuburan Massal Nganjuk

PENDAHULUAN

Assalamualaikum wr wb

Baiklah kawan kawan, kali ini saya akan menulis pengalaman petualangan kami dalam menelusuri sebuah peristiwa pembantaian penduduk sipil oleh militer Belanda pada awal 1949 di Baron, Nganjuk dalam sebuah artikel yang panjang dan lebar hehe….oke kita mulai dari basa basi terlebih dahulu…

Masa bertualang adalah masa bagi generasi muda Indonesia, generasi muda dengan dinamika jiwa yang agresif memang sebaiknya disalurkan dalam aktivitas petualangan yang positif.

Berpetualang itu bisa macam macam bentuknya, surfing di dunia maya pun bisa dikategorikan dalam petualangan, menarik, penuh daya khayal….well silahkan berandai andai sendiri 😉

Padahal masih ada banyak bentuk lain dari petualangan,semisal  pendakian gunung, arung jeram, telusur gua, menelusuri jejak dan kepingan sejarah dan masih banyak lagi, dengan terjun langsung kelapangan, blusukan ke desa desa yang jarang sekali dimasuki mobil sehingga kedatangan kami cukup menarik perhatian, blusukan mencari saksi mata kejadian dari penuturan veteran dan sesepuh kampung, bahkan sampai dicurigai sebagai komplotan penipu hehe…..oke selesai sudah basa basinya….lanjut serius 😉

Terimakasih kepada Allah SWT, kepada Kabintaldam Brawijaya Kolonel Didik dan Mayor Mustanji,  untuk rekan rekan di negeri seberang yang membantu data dari pihak Belanda : Jeffry Pondaag, K.U.K.B , Max van der Werf, Marjolein van Pagee, kepada rekan rekan tim penelusuran :  Irfan Bahalwan, Gepeng, Indra Eka Saputra dan saya sendiri selaku penulis.

LATAR BELAKANG

Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II dilancarkan, di Jawa Timur, Marinir Belanda memulai pendaratan dan serangannya di Pantai Glondong Tuban, utara Jawa Timur. Darisini mereka bergerak sebagian menuju arah Ngawi dan sebagian menuju arah Jombang ( pergerakan kelompok pasukan dapat dilihat dari Peta dibawah yang diambil dari buku Belanda berjudul  “Onze Marinier” terbitan tahun 1950.

Awal penemuan lokasi ini adalah ketika saya bersama Marjolein van Pagee dan Aftonun selaku fotografer menelusuri jalur pertempuran Marinir Belanda yang kebetulan juga belakangan kami ketahui bahwa almarhum kakek saya dulu juga bertempur di jalur yang sama pada tahun 1949, faktanya adalah ada bagian brigade Marinir Belanda yang berperang dengan unit gerilya kakek saya,namun apakah mereka pernah berhadapan secara langsung,kami tidak tahu

Dan kemudian kami mendapatkan foto kuno iringan panser Belanda dari Resimen Kavaleri Huzaren van Boreel melewati jembatan kertosono pada awal 1949 dimana dalam situs website dijelaskan bahwa resimen kavaleri ini bertemu dengan brigade Marinir di Jembatan Kertosono. (http://www.collectie.legermuseum.nl/strategion/strategion/i003921.html)

Data awal yang saya dapat saat penelusuran awal dengan Marjolein van Pagee pada Februari 2012 sangat kurang maksimal, kami hanya sekedar mengetahui bahwa terjadi serangan balasan terhadap penduduk atas serangan kepada konvoi mereka, hingga mengakibatkan puluhan penduduk dibantai dan kamipun sempat mengunjungi kuburan massalnya, namun benarkah faktanya seperti itu? Karena keterbatasan waktu maka kami tidak dapat bertemu banyak narasumber sehingga kami mengulangi riset ke Baron pada akhir November 2012 bersama crew Roode Brug Soerabaia mengingat data dokumen dari masa lalu juga sudah cukup kami dapatkan sebagai Raw Material bahwa telah terjadi insiden kemanusiaan dalam mempertahankan kemerdekaan di desa ini.

 

 

foto : Aftonun Nuha

 
data awal didapat dari veteran lokal, Bapak Siswojo

 

PETA LOKASI PENELITIAN

CATATAN PERJALANAN

Kami berangkat subuh dari Surabaya menuju Nganjuk setelah subuh pada hari Sabtu 24 November 2012, dalam perjalanan semua crew tertidur pulas kecuali saya selaku sopir tentunya , sesampainya di Mojokerto saya sengaja membangunkan kawan kawan yang lain karena kabut yang sangat tebal dan jarak pandang terbatas, fenomena yang tidak seperti biasanya

Dan kami menyempatkan diri berhenti untuk berfoto bersama dalam dinginnya kabut di Mojokerto, maklum pada masih abg semua

Perjalanan kami lanjutkan menuju Nganjuk, setelah surat surat perizinan kepada instansi yang bersangkutan  ( unsur TNI dan Kepolisian ) maka penelitianpun mulai dilakukan, pertama kami menuju Bapak Siswojo, satu satunya veteran yang masih hidup di daerah tersebut yang kebetulan juga kawan seperjuangan kakek saya sejak pertempuran Surabaya.

Dari rumah Pak Siswojo kami berpencar untuk mencari narasumber yang masih ada sesuai dengan informasi dari beliau, namun penelusuran pada hari Sabtu tanggal 24 November ini tidak bisa berlanjut maksimal dikarenakan cuaca buruk, hujan turun sangat lebat sejak pukul 14.00 WIB dan terpaksa kegiatan dihentikan.

Hari kedua, minggu 25 November kegiatan kembali dilakukan, dimulai dengan memotret beberapa lokasi penting yang berkaitan dengan insiden ini :

Saat dimulainya Agresi Militer II, para pejuang di kawasan ini berupaya meledakkan Jembatan Kertosono namun mengalami kegagalan, jembatan ini tidak bisa roboh, hanya mengalami kerusakan saja pada bagian permukaan aspal, Pak Siswojo yang saat kejadian itu berpangkat Letnan satu juga termasuk pelaku pemasangan bom.

Maksud dari peledakan ini adalah untuk mencegah atau menghambat gerak laju pasukan Belanda, karena gagal maka pejuang menempatkan ranjau darat disepanjang jalan antara Kertosono – Baron yang akhirnya berhasil melumpuhkan sebuah panser Belanda.

Dijalur utama Kertosono – Baron ini kami melewati sebuah bangunan kecil, ternyata bangunan yang tidak terawat dan tentunya sangat mudah terlewat dari pandangan mata tersebut adalah sebuah tugu pengingat pernah terjadi sebuah insiden dan satu nama terpahat disana, nama yang sama yang juga berada dalam daftar kami, korban penembakan yang bernama LASIDIN, mengapa hanya dibangun satu nama saja? Kenapa tidak sekalian dituliskan juga nama nama yang lain? Tugu kecil ini tentu tidak bisa menjawab pertanyaan kami, namun keluarga Pak Lasidin masih tinggal di area ini, sayangnya karena waktu yang terbatas kami tidak sempat menemui keluarga Pak Lasidin.

Dari sini perjalanan kami lanjutkan untuk melihat lubang perlindungan penduduk yang digunakan bersembunyi dan menghindari sambaran serpihan artileri dan peluru musuh saat serbuan berlangsung dan masih ada satu lubang perlindungan yang masih utuh hingga saat ini.

Dan perjalanan terakhir dalam wawancara ini adalah mengunjungi kuburan massal korban pembantaian Belanda yang terdapat di desa Sedan, desa sebelah utara desa Plimping.

Sungguh ironis, pengorbanan dari penduduk desa ini selama perang mempertahankan kemerdekaan adalah pengorbanan yang nyata, banyak warganya yang bergabung dengan TNI dan mengangkat senjata dan dibalas dengan Belanda menggunakan taktik anti gerilya yaitu bumi hangus desa terdekat atau yang dicurigai dekat dengan TNI untuk menimbulkan ketakutan dan pembatas antara TNI dengan rakyat, agar tidak ada lagi rakyat yang membantu TNI.

Kuburan massal ini adalah bukti nyata pengorbanan warga desa dan tak ada satupun penanda di lokasi ini, baik itu berupa tugu, monumen atau apapun, namun saat kami mengamati tanah makam, kami menemukan sebuah serpihan logam kecil bertulis “pejuang”.

Juru kunci makam yang menemani kami mengatakan “dulu tahun 80an dikasih bambu runcing dari besi mas, ada tulisannya “pejuang” itu, tapi sekarang sudah rusak besinya”

Dan sekarang mari kita ikuti penelusuran kesaksian para saksi mata insiden tersebut :


BAPAK PONIRAN

Lahir 30 Juni 1940 ( usia 72 tahun )

Saat kejadian berumur 4 tahun, sehingga bukan merupakan saksi mata langsung. Ia mengetahui informasi ini dari tetangga, saudara, dan sanak kerabat. Pada peristiwa itu, dia bersembunyi di kubangan/lubang perlindungan

Seingat dia, korban yang meninggal ada empat orang, yakni pak Ronijan (tidak memiliki sanak kerabat), mati dengan matanya dicungkil, pak Simo Bungkar (bapak dari Tuminem), mati dengan lehernya digorok, mbah Sirep (bapak dari pak Lasiman) mati ditembak, Jayus (tidak memiliki sanak kerabat) mati ditembak.

Ada 3 rumah yang dibakar pada saat itu, yakni rumahnya pak Poniran sendiri, pak Sarman, dan mbah Kasiran.

Menurutnya, Belanda marah dan menyerang desa karena kasus jebakan sarang tawon. Menurutnya Belanda menyerang dikarenakan peristiwa jebakan sarang tawon yang mengakibatkan tewasnya seorang prajurit Belanda.

Dia juga mengatakan ada seseorang tentara bernama pak Bandi yang mengacaukan pasukan Belanda. Dia menebang banyak pohon Asem sebelum peristiwa itu terjadi, dan menaruhnya di tengah jalan, untuk menghalangi lewatnya panser-panser Belanda.

BAPAK LASIMAN 

Lahir pada tahun 1924 (sekarang berumur sekitar 88 tahun)

Dia mengatakan peristiwa itu terjadi pada Akad (Minggu) Kliwon. Dia bercerita bahwa Belanda mulai masuk desa pada jam 9 pagi, dan selesai pada jam 3 sore. Pembantaian itu hanya berlangsung satu hari. Pada saat kejadian ia berumur 26 tahun, dan ia baru saja pulang dari memetik kelapa di desa Pandan Arum.

Korban yang ia kenal ada 8 orang, Kertodikromo (biasa dipanggil mbah Sirep, ayah dari pak Lasiman), mati dengan cara ditembak di kepala dari belakang, Ronijan, Simobungkar (perutnya dibelah), Masimin, Kertosayang (ayah dari pak Ilham), Murjani (mertua dari pak Lasiman), dibawa Belanda tapi hingga kini tak kembali, Sutirah dan Malem (adik kakak penduduk desa Baron). Total korban yang meninggal diperkirakan sekitar 50 orang.

Dia juga sempat melihat tentara Belanda yang menyerang banyak berkulit hitam, diduga KNIL dari Ambon. Dia juga sempat menyinggung tentang panser Belanda yang meledak oleh ranjau.

Dia juga bercerita tentang sosok pak Bandi, sosok tentara yang memiliki beberapa anak buah. Ia biasa berpakaian hitam hitam, mulai baju dan celana, memakai ikat kepala merah, dan membawa pecut/cemeti. Sebelum kejadian, pak Bandi ini selalu muncul di desa setiap hari. Tapi sejak Belanda masuk, pak Bandi tidak pernah kelihatan.

Ia juga bercerita tentang tiga rumah yang dibakar, yakni rumah pak Sarman, pak Poniran, dan satu lagi rumah yang ia lupa siapa pemiliknya.

Kemudian dia juga menyinggung tentang  kejadian jebakan sarang tawon. Jebakan tersebut ditaruh di jalan besar/utama, dan pelakunya adalah orang dari desa Baron

BAPAK ILHAM

Lahir tahun 1919, usia saat ini 93 tahun

Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi pelatih Seinendan.

Dia melihat langsung kejadian ditembaknya 10 orang di gardu perempatan Plimping. Setelah peristiwa penembakan itu, ia ikut mengurus jenazah dan menggali kuburan. Jenazah-jenazah itu dikumpulkan dan dikuburkan dalam satu liang kubur berukuran besar yang bertempat di kuburan masal Sedan

Dia juga bercerita tentang kisah Kamituwo (perangkat desa) yang ditembak Belanda. Untuk kisah ini, ia bukan merupakan saksi langsung. Menurut ceritanya, pada saat peristiwa itu terjadi, Kamituwo sedang mengenakan jarik, jas resmi,  selempang, dan blangkon (berseragam resmi perangkat desa).

Pada saat itu banyak warga yang bersembunyi di sebuah tempat perlindungan, yang berupa lobang di tanah yang atasnya ditutup oleh papan. Hingga bisa dikamuflasekan sebagai sebuah musholla/tempat sholat. Ia disuruh keluar dari tempat perlindungan secara baik-baik, namun langsung ditembak ketika melangkah keluar dari rumahnya, tepat pada dadanya.

Ia juga menyebutkan bahwa ada seorang mata-mata Belanda bernama pak Bandi. Dari kesaksian pak Ilham juga didapatkan informasi mengenai sosok pak Abas, warga Baron yang memiliki kesaktian yakni kebal peluru. Pak Abas ini juga merupakan veteran yang bertempur pada perang Surabaya. Saat kejadian itu, Belanda mencoba menembak pak Abas berkali-kali, tetapi tetap tidak mempan. Karena itu ia akhirnya diseret ke sebuah sumur, dicemplungkan dengan pemberat di kakinya hingga tenggelam, kemudan sumur itu diuruk/ditimbun batu-batuan.

Beliau bercerita mengenai seseorang yang memasang dan meledakkan ranjau, bernama Tarjan. Tarjan ini merupakan seorang TNI  yang berasal dari Plimping. Ledakan ranjau ini mengakibatkan rusaknya jalan utama dengan maksud untuk menghambat laju kendaraan tempur Belanda. Lubang yang diakibatkan oleh ledakan ini sebesar rumah, namun dengan alat beratnya, Belanda dengan mudah dapat menutup kembali lubang tersebut.

BAPAK SETU

Lahir 1924 (sekarang berumur 72 tahun)

Beliau melihat satu orang ditembak mati di Gebangkerep, bernama pak Sumodariman yang merupakan warga Baron. Ia juga turut mengurus jenazah 10 orang yang ditembak mati di perempatan gardu Plimping. Beliau masih ingat bahwa kejadian tesebut terjadi pada hari Minggu Kliwon.

Pak Setu juga bercerita tentang dua wanita, kakak beradik, yang tewas dalam lubang perlindungan akibat terkena mortir Belanda, yang belakangan diketahui bernama Malem dan Sutirah, juga bercerita tentang kendaraan tempur Belanda yang terkena ranjau di daerah jembatan Kertosono (kini area waterboom).

Beliau juga menyebutkan tentang sosok pak Bandi yang misterius, yang sebelum terjadinya insiden hari Minggu itu berkeliling dengan seorang pengawalnya yang membawa cemeti/pecut.

IBU TUMINEM

Lahir tahun 1930 (sekarang berumur sekitar 82 tahun)

Beliau masih mengingat kejadian tersebut pada hari Minggu Kliwon, bulan Maulud. Saat kejadian ia mengungsi ke daerah Sedan (sebelah utara Plimping), sudah mengingatkan bapaknya agar tidak pulang kembali ke Plimping, karena sudah beredar kabar bahwa Plimping akan diserang Belanda. Namun bapaknya tetap kembali ke Plimping, karena menganggap bahwa Belanda tidak akan melukai orang-orang tua.

Dari kisah kakaknya yang menjadi saksi mata langsung (sekarang sudah meninggal), pada saat akan dieksekusi, bapaknya telah berkali-kali mengatakan bahwa ia hanya petani, bukan TNI. Ia juga telah menunjukkan surat keterangan bahwa ia hanyalah seorang penduduk biasa. Namun akhirnya ia tetap ditembak oleh Belanda, di gubuk yang berada di kebun dekat rumahnya

Bu Tuminem juga bercerita tentang 5 rumah yang dibakar habis oleh Belanda, yang berlokasi disekitar rumahnya

 
Bu Tuminem saat menunjukkan lokasi dieksekusinya sang bapak

IBU PONIMAH

Lahir 1935, saat ini berusia 76 tahun

Beliau adalah saudara kandung Ibu Tuminem, Bapaknya bernama Simo Tirto / Simo Bungkar, nama para korban yang diingat : Situn, Moertiah.

Rumah dibakar yang diingat : Kasmijah, Mbok Painem, Kaiban

BAPAK KASIM

Lahir 1932, saat ini berusia 80 tahun.

Korban yang masih diingat : Ronijan ( ditembak ), Masimin penduduk Baron  ( ditembak di jalan besar ), Moerjani (hilang dibawa Belanda ) , dua remaja putri , Malem dan Sutirah tewas terkena mortir  ( putri dari Bapak Irorejo ), Mbah Sirep ( Kamituwo Plimping, ditembak di Pandanarum ), Simobungkar ( ditembak didalam sumur ), Kertobeno ( ditembak dalam perlindungan ),Jayus ( penduduk Plimping ditembak di Pandanarum, ayah dari Bapak Marwan )

Saat kejadian dia mengungsi, sebelum Belanda masuk, sebagian warga sudah mengungsi, seluruh korban dimakankan di kuburan massal sedan.

Rumah dibakar yang diingat : Rumah Pak Sarman dan Paidi

Menyebutkan nama Pak Bandi sebagai salah satu pemasang ranjau di jalan, menurut dia Belanda menyerang desa karena ada yang mati karena jebakan lebah.

Pak Lasim masuk ke desa Plimping dan melihat banyak penduduk yang menjadi korban penembakan

IBU TUMIRAH

Usia diperkirakan lebih kurang 75 tahun

Ayahnya yang bernama Muhammad Soleh tewas ditembak Belanda didalam rumahnya, Bu Tumirah mengingat korban yang dieksekusi Belanda di sekitar rumahnya berjumlah total 21 orang namun beliau tidak mengingat nama korban.

Ketika Belanda menyerang desa, sang Ayah memerintahkan agar Ibu Tumirah yang saat itu masih kecil diperintahkan untuk lari bersama ibunya dan mengatakan bahwa Belanda tidak akan menyakiti penduduk petani seperti dia.

Muhammad Soleh ditembak mati oleh Belanda didalam rumahnya diatas dipan saat duduk membaca Al Quran sebagaimana posisi jenazahnya ketika ditemukan oleh Ibu Tumirah.

BAPAK JAJULI

Lahir lebih kurang 1940, diperkirakan kini berusia 72 tahun.

Bapaknya yang bernama Mat Ngari ditembak mati Belanda di rumah Jogoboyo ( pamong desa ) yang bernama Pak Samad, keduanya ditembak mati, rumah Pak Samad dibakar, dimakamkan di kuburan massal Desa Sedan.

IBU RIANA / MASNAH

Lahir 1948 , saat kejadian berusia 3 bulan.

Bapaknya ditembak Belanda di desa Plimping, nama Bapak : Abdul Latief / Sahni.

Kejadian penembakan pada saat setelah waktu ashar , lebih kurang jam 15.00 WIB saat sang ayah mengantarkan makanan untuk ayahnya yang saat itu berada di desa Gebangkerep. Abdul Latief ditembak tanpa peringatan di pematang sawah tanpa alasan jelas.

Korban dimakamkan di pemakaman umum desa Kedung Regeng.

BAPAK DJUMAR

Kelahiran 1936, usia 76 tahun

Ayahnya yang bernama Kaelan menjadi salah satu korban dalam insiden serangan Belanda, selain ayah juga kehilangan kakak iparnya yang bernama Kodri , selain itu juga tetangganya yang bernama Saleh, Kadiran, Samad, Paimin, Munawar dan Mat Ngari.

Pak Samad selaku jogoboyo dianiaya oleh tentara pribumi ( diperkirakan ambon / madura ) sebelum akhirnya ditembak mati.

Semua yang disaksikan ditembak mati adalah penduduk biasa, petani, tak ada satupun anggota TNI, semua korban dimakamkan di kuburan massal desa sedan.

Dua orang penduduk bernama Sunadji dan Diman ditawan Belanda dan disuruh membawakan perlengkapan amunisi tentara Belanda.

Beliau juga menyebutkan insiden jebakan sarang tawon yang menewaskan seorang tentara Belanda

BAPAK SISWOJO

Lahir pada 1928, usia 84 tahun

Pengalaman tempur pertama dalam Pertempuran Surabaya 1945 tergabung dalam pasukan tentara pelajar yang bermarkas di Jl Darmo Surabaya.

Pasca pertempuran Surabaya bergabung dengan Batalion 22  Brigade XVI bermarkas di Kertosono dengan pangkat Letnan Satu dibawah pimpinan Warrouw.

Pak Siswojo adalah satu satunya saksi berasal dari unsur TNI yang masih hidup, saat kejadian beliau berada di desa sebelah selatan desa Plimping, dalam ingatannya kejadian ini berlangsung pada bulan awal tahun 1949.

Saat mendengar berita bahwa Belanda melanggar perjanjian dan melaksanakan agresi militer II / politionile actie II, Pak Siswojo bersama pasukannya berusaha meledakkan jembatan kertosono yang melintasi kali brantas, aksi yang dilakukan hingga dua kali peledakan ini mengalami kegagalan, jembatan tidak roboh namun hanya mengalami kerusakan pada permukaan aspal saja.

Akibatnya kendaraan tempur belanda dari resimen huzaren van boreel dapat melewati jembatan tersebut namun salah satu kendaraan tempurnya terkena ranjau di jalan besar tak jauh dari Desa Plimping ( kini lokasi tersebut menjadi area waterboom kertosono ) dan salah seorang tentara Belanda dalam iring iringan tewas terkena jebakan tradisional penduduk yang dibuat dari sarang tawon. Pak Siswojo juga kehilangan anggota keluarganya bernama Dimin Wiryoredjo dalam insiden ini.

 

KESIMPULAN :

  1. Serangan atas Desa Baron diperkirakan terjadi pada awal bulan Januari 1949, sesuai dengan ingatan rata rata penduduk dan catatan tertulis dari buku “onze marinier”
  1. Alasan serangan diperkirakan adalah meledaknya salah satu panser Belanda akibat ranjau darat yang diperkirakan dari resimen huzaren van boreel ( sesuai foto dan informasi dari Tropen Museum, Belanda ) di jalan utama tak jauh dari dusun Plimping dan juga tewasnya seorang tentara Belanda akibat jebakan tradisional yang dibuat dari sarang lebah oleh penduduk.
  1. Serangan dilakukan sebagai counter gerilya, dimana untuk menekan gerilyawan TNI, Belanda yang tidak mampu menemukan mereka secara langsung akhirnya melakukan tindakan represif kepada penduduk yang diharapkan meninggalkan trauma dalam dan tidak mau lagi bekerjasama dengan TNI.

 

  1. Data penduduk tewas diperkirakan lebih dari 50, mengingat penelitian selama 2 hari hanya dilakukan sebatas dusun plimping saja, diluar dusun plimping tidak dapat dilakukan akibat keterbatasan waktu.
  1. Tidak adanya penanda kejadian berupa monumen atau apapun terutama di dusun plimping maupun dusun sedan lokasi kuburan massal,membuat generasi muda di lingkungan ini tidak mengetahui sama sekali mengenai insiden tersebut.
  1. Kuburan para korban tidak hanya sebatas di desa sedan, tapi juga ada di desa desa sekitarnya.

Dari 12 saksi didapatkan nama nama korban sebanyak 25 orang dalam dusun Pilmping saja :

  1. Abdul Latief
  2. Abas
  3. Dimin Wirjoredjo
  4. Jayus
  5. Kadiran
  6. Kaelan
  7. Kertobeno
  8. Kertosayang
  9. Kodri
  10. Muhammad Soleh
  11. Malem
  12. Masimin
  13. Mat Ngari
  14. Moertiah
  15. Munawar
  16. Moerjani
  17. Paimin
  18. Ronijan
  19. Saleh
  20. Samad
  21. Simobungkar
  22. Sirep
  23. Situn
  24. Simodariman
  25. Sutirah

Selain penembakan terhadap warga desa juga dilakukan aksi pembakaran dan juga perusakan terhadap  rumah rumah warga.

Masih ada banyak pertanyaan dalam benak kami, siapa sebenarnya sosok Pak Bandi yang banyak disebut saksi mata? mengapa hanya ada satu tugu peringatan usang bertuliskan nama Lasidin, hanya satu nama diantara sekian banyak korban dalam daftar kami, apa yang istimewa dari beliau?

dan masih ada banyak lagi pertanyaan, namun waktu kami terbatas, hari Senin kami harus kembali lagi pada rutinitas di Surabaya.

Begitu banyak pertanyaan dan begitu sedikit waktu yang tersedia. Semoga kami sempat melanjutkan penulisan ini, namun jika usia tak mengizinkan semoga akan ada generasi muda bangsa ini yang melanjutkan penulisan ini dan saya yakin pasti akan ada.

 

sayang sekali jika kisah untold story semacam ini hilang, di lokasi kejadian saja yang masih muda tidak tahu tentang insiden ini, kelak jika para sesepuh desa sudah tidak ada ya cerita inipun bakalan katut hilang.
dalam masa perang kemerdekaan tidak sedikit pengorbanan yg diberikan penduduk kampung dalam mensupport perjuangan TNI, mereka bisa saja buka mulut dan beralih pihak agar selamat, menunjukkan kantong2 gerilya

namun
hidup adalah pilihan….
dan kita tahu penduduk desa di nganjuk ini
tidak memilih jalan itu, liang makam
berukuran besar itu bukti jawaban dan
pilihan mereka pada masa itu….

Demikianlah reportase perjalanan tim Roode Brug Soerabaia, tidak ada kendala berarti selama perjalanan berlangsung selain cuaca buruk yaitu hujan deras yang mengakibatkan anggota tim tidak dapat melanjutkan aktivitas bertamu ke rumah penduduk untuk wawancara.

TEAM NGANJUK :

 
kiri ke kanan: Gepeng, Irfan, penulis, Indra

ditulis oleh : Ady Setyawan / 087852412254

About Ady Setyawan

Ady Setyawan, penulis dan penghobi sejarah terutama era perang kemerdekaan. Buku yang pernah diterbitkan berjudul : Benteng Benteng Surabaya ( 2015) , Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? ( 2018 ) dan Kronik Pertempuran Surabaya ( 2020 )

Check Also

Insiden Kekerasan Imlek di Surabaya Tahun 1912

Tahukah anda bahwa perayaan Imlek tahun 1912 di Surabaya berubah menjadi sebuah panggung pertikaian sengit …