Hari Sabtu, 17 Desember 2011, cuaca di Surabaya diguyur hujan sejak siang hingga malam hari. Pukul 19.00 WIB sesuai kesepakatan bersama, kawan-kawan sahabat RB berkumpul di Pucang Anom Timur 70 Surabaya. Agenda hari ini adalah mengunjungi janda veteran perang Surabaya yang bernama Ibu Astuti.
Keberadaan Ibu Astuti ini pertama diketahui oleh Noer Satriawan dan Dhahana Adi, beliau hidup seorang diri dengan anak anak yang memiliki gangguan keterbelakangan mental, dengan segala keterbatasan yang ada, di usia beliau yang sudah tak lagi muda juga harus memikirkan anak-anaknya, maka dilakukanlah penggalangan dana dadakan oleh kawan-kawan sahabat RB sehingga terkumpul total 1,4 juta dalam waktu 3 hari.
Alamat beliau tidak terlalu sulit ditemukan, disebuah gang sempit yang hanya bisa dilalui dua kendaraan sepeda motor di JL Kalibokor Kencana II / 12 Surabaya
Setelah memasuki gang sejauh kira-kira 200 meter sampailah kami ditempat tinggal beliau, kami disambut dengan hangat. Ibu Astuti yang kini berusia 75 tahun, beliau masih cukup sehat dalam menceritakan kisah-kisah beliau. Ternyata diluar dugaan kami, bukan hanya suami Bu Astuti saja yang veteran BKR Laut, namun beliau sendiri adalah seorang Veteran PMI.
Akhirnya cerita demi cerita pun mengalir, ketika kami menanyakan seperti apa seragam PMI pada masa itu, dan Bu Astuti menjawab “kami memakai atasan putih,kemeja dengan dua saku dibagian depan, rok putih dibawah lutut, membawa obat-obatan dan memakai pet pejuang berwarna putih juga dengan tanda palang merah di lengan”
“apakah dulu rambutnya juga dikuncir bu?” satu pertanyaan dari Niendy meluncur dan Bu Astuti tersenyum tersipu sambil menutup wajahnya dengan sapu tangan dan menjawab “iya…dulu rambut saya dikepang dua”
dan melihat senyum Bu Astuti yang spontan pun membuat kami semua tertawa.
“Apa yang paling Ibu ingat dari peristiwa pertempuran Surabaya tahun 1945?”
“suatu kejadian di Putro Agung, seorang ibu muda dalam keadaan hamil dengan dua anak yang masih kecil meninggal terkena tembakan Inggris,satu tembakan di paha dan satu tembakan di leher, melihat itu saya menangis,kedua anaknya masih kecil,yang besar umur 3 tahunan sedang yang kecil masih 1 tahun…….. ”
Beliau diam sebentar lalu melanjutkan “perang itu mengerikan, yang paling mengerikan bagi saya adalah pertempuran di kawasan Siola, Tunjungan dan Hotel Oranje, banyak yang meninggal disitu, saya melihat ada yang meninggal posisi sujud, ada yang meninggal tergantung diatap gedung Hotel Oranje…banyak sekali orang meninggal dijalanan itu”
“dan hal yang paling*tidak bisa saya lupakan adalah ketika saya melihat sendiri di Kempetai Bojonegoro, seorang ibu dengan anaknya yang berusia 7 tahunan dipenggal hanya karena mengambil sebotol minyak angin yang tergeletak di jalanan” ( Bu Astuti besar di Bojonegoro, datang ke Surabaya hanya pada saat Pertempuran November 1945,lalu mundur balik kembali ke Bojonegoro dengan berjalan kaki bersama kawan-kawan seperjuangannya )
Dibalik piagam penghargaan perjuangan dari almarhum suami beliau, kami menemukan sebuah catatan kecil, tulisan tangan dari almarhum suami beliau yang ternyata itu adalah nyanyian ciptaannya selama masa perjuangan, berikut fotonya :
HIBURAN GERILYA
dimana aku berada ini
jauh ayah dan ibuku
kelelahan yang menimpa diri
tak mengenal waktu
siang malam aku menderita
rintangan silih berganti
berat senjata yang kubawanya
tetap kusayangi
tetapi apa dayaku harus menetapi
ibu pertiwi mengharap jasaku
mengabdi pada nusa dan bangsa
untuk merdeka!!
Foto masa muda almarhum Letda Soegeng Setijoso dan Penghargaan :
Saat kami berpamitan dan menyerahkan dana yang terkumpul dari semua sahabat-sahabat RB sempat ditolak oleh Bu Astuti, beliau tidak mau menerima. Kemudian setelah Hamzah Hoesein menyampaikan “Bu,ini rezeki Ibu, ini dari titipan dari Allah,jangan ditolak” barulah Bu Astuti mau menerima titipan kawan-kawan semuanya.
Bu Astutik diantara Wawan dan Hamzah Hoesein |
Terimakasih kepada Allah SWT
Terimakasih atas kepedulian kawan-kawan semua baik yang membantu finansial maupun pasukan yang bergerak langsung ke lapangan
ditulis oleh :Ady Erlianto Setyawan
Foto : Surya Mixonika