Tak diragukan lagi bahwa keberadaan Tentara Peta tidak dapt dipisahkan dari lintasan sejarah kemiliteran dan perjuangan Bangsa Indonesia. Keberhasilan dalam membangun dan menata kemampuan sumber daya manusia di bidang keprajuritan ini mampu menggugah semangat dan rasa percaya diri sebagai modal merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Banyak perwira yang pernah mengikuti pendidikan Tentara Peta kemudidan menjadi petinggi di TNI angkatan darat, di antaranya Soedirman (Daidancho Banyumas), Gatot Subroto (Chudancho Banyumas), GPH Djatikusumo (Chudancho Surakarta), Ahmad Yani (Shodancho Kedu), Sarwo Edhie Wibowo (Shodancho, Kedu), Soeharto (Shodancho ,Jojgakarta), dan Umar Wirahadikusumah ( Sodhanco, Priangan).
Kemenangan – kemenangan yang diraih balatentara Jepang pada awal perang pasifik membuat komando tertinggi militer jepang memutuskan untuk melanjutkan langkah ofensifnya ke bagian barat dan timur Asia Tenggara. Dampak yang dirasakan adalah kurangnya tenaga sumber daya manusia.
Komando militer tertinggi Jepang mulai memikirkan cara penggantian pasukan di wilayah yang personelnya menipis tanpa mengganggu pertahanan di wilayah yang lain. hal ini juga berlaku di Indonesia.
Beberapa perwira dari Biro Urusan Militer Kementrian Angkatan Darat Jepang membuat kajian dari pengalaman sukses Perancis atas Jerman dalam pertempuran di sungai Marne pada Perang Dunia I yang menggunakan pasukan pribumi asal Maroko. Masukan yang diajukan oleh tim ini untuk mengatasi kekurangan personel adalah menggunakan pasukan yang berasal dari penduduk pribumi di wilayah yang dikuasai Jepang, yang dapat digerakkan ke daerah-daerah yang membutuhkan perkuatan personel.
HEIHO & PETA
Kelompok bersenjata yang pertama dibentuk adalah Heiho, berdasarkan instruksi kementrian Angkatan Darat Jepang, Riku-a-mitsu no. 3636 tanggal 26 September 1942 yang berisi peraturan dan pedoman pembentukan Heiho. Heiho adalah para prajurit Indonesia yang berdinas sebagai pembantu Jepang. Selanjutnya personel Heiho yang sudah menjalani pelatihan dikirim ke Irian, Kepulauan Solomon, Semenanjung Malaya, Muangthai hingga ke Indochina. Mereka banyak ditempatkan di satuan artileri pertahanan udara, satuan artileri medan, satuan tank dan pengemudi kendaraan. Walaupun Hiehi sudah dilatih untuk mempunyai kemampuan tempur, namun tidak ada yang berpangkat perwira karena sifatnya hanya sebagai unsur bantuan.
Pada pertengahan 1942 beberapa perwira intelejen Jepang yang berada di Jawa sepakat bahwa pemuda Indonesia mempunyai kemampuan untuk dilatih dalam bidang intelejen militer. Kelanjutannya pada Januari 1943 dibukalah Seinen Dojo (pusat Pendidikan Pemuda) di Tangeran. Angkatan I diikuti oleh 40 siswa dari berbagai daerah di Jawa. Lulusan angkatan I ini antara lain Letjen Kemal Idris dan Mayor Daa Mogot.
Pada Maret 1943 Letnan Jendral Inada Msazumi menggagas pembentukan satuan miiter pribumi yang terpisah namun masih dalam komandao dan pengendalian militer Jepang, bukan menggunakan konsep Heiho.
Inana juga berpendapat bahwa militer Jepang harus mampu mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang diduduki, untuk melaksanakan strategi defensif hingga titik darah penghabisan.
Sementara itu, semangat nasionalisme dan patriotisme dalam pergerakan nasional di Indonesia sedang berkembang. Apalagi setelah dibentuknya POETERA(Poesat Tenaga Rakyat) oleh empat sekawan : Soekarno, M.Hatta, Ki Hajar Dewantora dan K.H. Mas Mansyur. Mereka mendesak kepada pemerintah militer Jepang agar para pemuda Indonesia diberi latihan kemiliteran.
Para perwira Jepang kembali melakukan kajian yang hasilnya adalah bahwa satuan militer tersebut harus mempunyai unsur Islam, sebab golongan Islam dalam pergerakan Nasional Indonesia lebih dipercaya oleh Jepang karena dinilai yang paling anti-barat. Dan prakarsa pembentukan satuan ini harus datang dari rakyat Indonesia supaya lebih membangkitkan patriotisme dan semangat berjuang.
Pihak militer Jepang memutuskan untuk menggunakan kompleks militer eks-Belanda di Bogor untuk tempat latihan tentara sukarela ini. Tiga orang yang ditugaskan untuk melakukan rekrutmen adalah : Letnan Yanagawa (Jawa Barat), Letnan Tsuchiya (Jawa Tengah) dan Letnan Yonemura (Jawa Timur). Setiap harinya ketiga perwira ini harus memproses sekitar 300 orang pemuda selama saru minggu di masing-masing daerah.
Pada akhir November 1943 latihan untuk daidancho selesai, sedangkan para siswa calon chudancho dan shodancho melanjutkan latihan hingga bulan desember . Pelantikan para daidancho dan chudancho dilakukan pada 8 Desember 1943 di lapangan Gambir (Medan Merdeka), sementara shodancho dilantik pada 21 Desember di tempat yang sama. Setelah di lantik mereka diberi pedang yang lebih pendek dari yang digunakan oleh perwira Jepang. Selanjutnya mereka kembali ke daerah asal untuk ikut dalam pembentukan daidan (batalyon) Tentara PETA. Di Jawa dibentuk 66 daidan dan 3 daidan di Bali. Kekuatan tentara PETA di Jawa dan Bali sejumlah 69 Daidan adalah 36.915 orang.
Pakaian seragam yang digunakan tentara PETA meniru model seragam tantara Jepang. Untuk Daidancho menggunakan celana penunggan kuda dengan sepatu boot hitam tinggi. Chudancho dan Shodancho menggunakan sepatu boot yang lebih rendah ditambah penutup betis dari kulit. Bagi para Bundhancho dan Gyuhei handya menggunakan seragam lapangan seperti tentara Jepang.
![]() |
Senapan Mesin Vickers |
Senjata yang digunakan adalah Pistol FM Browning Automatic, senapan Styer M95 produksi Styer-Mannlicher tahun 1895 termasuk versi pendeknya (karaben). Tentara Peta juga dilatih untuk mengunakan senapan mesin jenis Vickers dengan sistem pendingin berupa air. Senapan ini awalnya diproduksi tahun 1912 oleh Vickers Limited untuk AD Inggris. Pengoprasian senapan mesin ini dilakukan oleh satu regu yang terdiri dari enam hingga delapan orang. Satu orang sebagi penembak, satu orang membantu pengisian amunisi, dan sisanya bertugas membawa senjata ini berikut amunisinya jika pasukan bergerak. Karena handal dalam peformanya dilapangan maka sampai akhir perang dunia II senapan mesin ini masih digunakan.
![]() |
Steyr M98 |
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu di perang Pasifik, tentara Peta dibubarkan dan dilucuti persenjataannya. Namun di beberapa tempat seperti di Surabaya, para eks Peta ini mengumpulkan massa untuk kembali merebut persenjataan milik Jepang di gudang – gudang senjata yang nantinya digunakan untuk melawan kekuatan Inggris yang masuk ke kota Surabaya.
Sumber : Defender 2008 & Pertempuran Surabaya
Foto : Wiki & Google